Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan dalam Islam dimulai dengan mempelajari adab, sebelum menimba ilmu itu sendiri. Wahai Musa, Sungguh, Aku adalah Rabbmu, maka lepaskanlah kedua terompahmu. Karena, sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Tuwa. (QS [20]: 11-12).
Setelah perintah menanggalkan alas kaki untuk menghormati tempat yang disucikan Allah SWT, barulah ilmu itu disampaikan kepada Nabi Musa. Dalam ayat selanjutnya, Allah SWT berfirman, Maka dengarkanlah apa yang diwahyukan kepadamu. (QS [20]: 13).
Guru Imam Syafi'I, yakni Imam Malik, pernah berkata, Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu. Ibunda Imam Syafi'I juga berkata kepada anaknya, Pergilah kepada Rabi'ah! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!" ('Audatul Hijaab 2/207).
Adab dalam tradisi ilmu ulama salaf bukanlah sekadar selingan yang diajari beberapa jam dalam sepekan. Porsi pelajaran adab bahkan lebih besar dari materi ilmu yang dipelajari itu sendiri. Ibnu Mubarok berkata, Kami mempelajari masalah adab selama 30 tahun, sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun. Beliau juga berkata, "Hampir saja adab menjadi dua pertiga ilmu." (Sifatush Shafwah 4/145).
Salah satu buah adab adalah suasana majelis ilmu atau ruang kelas yang kondusif untuk aktivitas belajar-mengajar. Adab ini telah dicontohkan sahabat Nabi tatkala menerima ilmu dari Rasulullah SAW. Sahabat Abu Sa'id al-Khudri berkata, Ketika kami sedang duduk-duduk di masjid, Rasulullah SAW tiba-tiba keluar dan duduk bersama kami. Maka, seakan-akan di atas kepala kami ada seekor burung, sehingga tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. (HR al-Bukhari).
Dalam majelis Ahmad bin Sinan dikatakan bahwa jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara maka dia mengenakan sandalnya dan keluar. Suatu kali, salah satu muridnya tertawa kecil saat kajian ilmu sedang berlangsung. Ahmad bin Sinan langsung berkata majelis ilmu hadisnya libur selama sebulan, kemudian ia mengambil sandalnya dan langsung pergi meninggalkan tempat itu.
Begitu perhatiannya ulama salaf terhadap adab kepada mata air ilmu mereka hingga murid Imam Syafi'I, Ar-Rabi' bin Sulaiman, berkata, Aku tidak berani meneguk air ketika Asy Syafi'I melihatku karena segan kepada beliau. Dalam Siyaru A'lamin Nubala, Imam adz Dzahabi menyebutkan bahwa tidak ada seorang pun berbicara di majelis Abdurrahman bin Mahdi, berdiri, atau meruncingkan alat tulis, juga tidak ada satu pun yang tersenyum.
Alasan mengapa pendidikan dalam tradisi keilmuan ulama terdahulu dapat melahirkan ulama-ulama besar yang ensiklopedik dengan karya abadi adalah kesungguhan mereka dalam mempelajari adab sebagaimana bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu.
Jumlah yang menghadiri majelis Imam Ahmad ada sekitar 5.000 orang atau lebih, 500orang menulis, sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya. (Siyaru A'lamin Nubala).
Dua faktor penting agar ilmu menjadi kokoh dan bermanfaat dunia akhirat adalah niat ikhlas karena Allah SWT saja dan menjaga adab-adabnya. Sehingga, dalam Islam, orang yang berilmu dipastikan beradab. Pada akhir zaman ini banyak kita jumpai orang yang mumpuni dalam intelektual, tapi kurang adabnya terhadap Allah, Rasul-Nya, kepada para ulama, dan kepada sesama.