Jumat 05 May 2017 20:15 WIB

Staf Humas IPB Raih Juara 3 Baznas Literacy Awards 2017

Program pendidikan staf Biro Hukum, Promosi dan Humas (Biro HPH) Institut Pertanian Bogor (IPB), Siti Zulaedah, S.TP  yang berjudul “Mahasiswa IPB Mengajar 2.0” berhasil mengantarkannya meraih prestasi sebagai Juara 3 Baznas Literacy Awards 2017.
Foto: Dok. Humas IPB
Program pendidikan staf Biro Hukum, Promosi dan Humas (Biro HPH) Institut Pertanian Bogor (IPB), Siti Zulaedah, S.TP yang berjudul “Mahasiswa IPB Mengajar 2.0” berhasil mengantarkannya meraih prestasi sebagai Juara 3 Baznas Literacy Awards 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi tugas seorang Muslim untuk membantu anak yatim dan janda yang mengalami kesulitan. Motivasi ini yang mendorong  salah satu staf Biro Hukum, Promosi dan Humas (Biro HPH) Institut Pertanian Bogor (IPB), Siti Zulaedah, S.TP untuk mendirikan Yayasan Arrohman. 

Melalui yayasan ini, Zule demikan sapaan akrabnya, komit untuk mensejahterakan dan mendidik anak yatim, dhuafa, dan janda di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Program pendidikannya yang berjudul “Mahasiswa IPB Mengajar 2.0” berhasil mengantarkannya meraih prestasi sebagai Juara 3 Baznas Literacy Awards 2017.

“Kondisi yang ada adalah sudahlah yatim ditambah kurang terdidik. Lalu bagaimana mereka bisa berprestasi sehingga mudah mendapatkan beasiswa. Melihat hal itu, saya dan beberapa teman di IPB menggagas pendidikan tambahan (informal) gratis untuk anak yatim,” ujarnya, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (5/5)

Ada sekira 20-an anak yatim dan dhuafa yang sejak tahun 2014 mengaji di Yayasan Arrohman. Di luar itu ada beberapa anak lain yang tidak berstatus yatim yang juga ikut datang, sekira 15 anak. Anak yatim yang datang berasal dari berbagai tingkatan kelas. Dari kelas satu sampai kelas enam SD.

“Rata-rata anak yatim dan dhuafa yang datang mengaji belum bisa membaca alquran. Bahkan ada anak yatim kelas 4 SD baru mulai membaca Iqro jilid 1. Yang lebih memprihatinkan lagi, dari sisi akademik, anak-anak tersebut juga tergolong anak yang kurang berprestasi,” tambah alumni IPB ini.

Program “Mahasiswa IPB Mengajar 2.0” adalah program mendidik anak yatim di luar sekolah hasil kerjasama dengan mahasiswa IPB. Lokasi yayasan yang berdekatan dengan IPB dan profesinya  yang bekerja di Humas IPB memudahkannya mencari volunter dari mahasiswa.

Dari program ini, anak-anak yang datang ke yayasan akan mendapatkan ilmu agama dan ilmu dunia. Selain belajar baca alquran, anak-anak juga mendapatkan ilmu lainnya seperti cerita tentang sahabat Rasulullah SAW dan Hadist Nabi. Guru yang mengajar adalah salah satu ustadzah di Dusun Cangkrang dan ustad Waladan Mardija, salah seorang pegawai di IPB.

Untuk ilmu logika, anak-anak mendapatkannya dari mahasiswa IPB yang bersedia menjadi volunter. Mata pelajarannya adalah bahasa Inggris, matematika dan bahasa Arab. Mahasiswa yang terlibat sebagian besar merupakan mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi.

Selain itu ada juga mahasiswa berprestasi tingkat nasional dan internasional yang pernah terlibat dalam program ini, seperti Ikrom Mustofa, Mahasiswa Berprestasi Nasional peringkat 2; Oki Setiawan (Hafidz 10 Juz); Teguh Wahyu Permana (Duta Maritim RI); dan Vivi Safitri (Juara MTQ IPB) dan lain-lain.

“Para guru ini memberikan ilmunya tanpa bayaran dari yayasan. Dan yayasan juga tidak menuntut banyak yang terpenting adalah adanya motivasi yang tumbuh di dalam hati anak-anak untuk berani mempunyai mimpi hasil dari bertatap muka langsung dengan mahasiswa Bidikmisi,” terangnya.

Menurutnya, harapan anak-anak untuk menempuh pendidikan lebih tinggi mulai muncul. Apalagi saat mendengarkan cerita para mahasiswa yang menjadi volunteer. Kondisi sosial ekonomi yang serupa (yatim dan kurang mampu) tetapi bisa kuliah menjadi motivasi bagi anak-anak bahwa jika mereka berprestasi, mereka bisa seperti mahasiswa tersebut.

Berjalannya program ini bukan tanpa kendala. Masalah terbesar dalam menjalankan program ini adalah transportasi dan regenerasi pengajar. Jarak antara lokasi dan IPB sangat dekat, namun jalur kendaraan umum untuk ke lokasi terputus di tengah.

“Jika naik angkot, jaraknya jadi jauh dan biasanya macet. Selain itu, jadwal mahasiswa biasanya berubah setiap pergantian semester. Jadi saya harus menjadi menjalin jejaring yang lebih luas untuk mencari volunteer,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement