Rabu 03 May 2017 16:00 WIB

Pendekatan Budaya Ala Mataram Islam

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Kitab Kuning
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Kitab Kuning

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dalam kebudayaan Jawa adiluhung, kesusastraan memainkan peranan penting untuk menegaskan posisi elite keraton. Untuk semakin menyelaraskan tradisi Jawa dengan Islam, Sultan Agung memperkenalkan karya-karya yang mengandung ajaran agama ini ke dalam khazanah istana. Salah satunya, Kitab Usulbiyah.

Karya ini serta Carita Sultan Iskandar dan Serat Yusup dikomposisikan ulang oleh generasinya kemudian, yakni Ratu Pakubuwana pada 1729-1730.

Isi Kitab Usulbiyah mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Di sana, Rasulullah SAW bahkan dideskripsikan memakai mahkota emas Majapahit sebagai tanda sinkretisme Islam dan keraton Jawa. Lebih lanjut, Ratu Pakubuwana sampai-sampai menyamakan ritual membaca Usulbiyah dengan beribadah haji ribuan kali.

Kuatnya sinkretisme Islam dan Jawa juga dijumpai dalam Suluk Garwa Kancana, yang ditulis pada 1730 oleh Ratu Pakubuwana. Ricklefs menjelaskan, karya ini terinspirasi dari ajaran sufistik Islam yang menasihati para penguasa agar tidak larut dalam puji-puji para bawahannya di lingkungan istana.

Biarkan perjuangan tanpa henti menjadi benteng-bentengmu, ingatan yang agung (terhadap Allah) menjadi senjatamu, iman yang teguh terhadap Allah menjadi wahanamu, demikian penggalan salah satu bait suluk tersebut.

Budayawan Universitas Gadjah Mada, Kuntowijoyo (wafat 2005), dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid menjelaskan filosofi Sultan Agung terkait hubungan antara agama dan budaya Jawa.

Dalam Serat Sastragendhing, Sultan Agung mengibaratkan agama sebagai gubahan lirik sastra, sedangkan kebudayaan sebagai gending atau lagunya. Artinya, agama bersifat tetap. Yang langit itu stabil, tetapi pembumiannya dinamis. Caranya agama itu disampaikan kepada sekalian manusia dapat berubah-ubah sesuai konteks ruang dan waktu.

Ratu Pakubuwana merupakan nenek Pakubuwana II (wafat 1749), raja muda yang naik takhta dalam usia amat muda, 15 tahun. Untuk diketahui, setelah Sultan Agung meninggal dunia, rekonsiliasi identitas Islam dan tradisi Keraton Jawa tidak dilanjutkan secara baik.

Dinasti Mataram justru diguncang perebutan kekuasaan antarelite atau pelbagai pemberontakan yang memakai Islam sebagai justifikasi. Oleh karena itu, penetapan Pakubuwana II sebagai raja muda tidak ayal mengundang intrik-intrik.

Dalam situasi politik demikian, Ratu Pakubuwana (wafat 1732) tampil sebagai penyeru. Sufi perempuan ini berupaya merevitalisasi warisan-warisan Sultan Agung sehingga memerintahkan penulisan kembali versi baru dari karya-karya besar di masa pemerintahan sultan tersebut.

Menurut Ricklefs, Ratu Pakubuwana berupaya agar keraton mampu menjadikan masyarakat Jawa lebih Islami. Ada imbauan-imbauan agar masyarakat lebih rajin ke masjid, khususnya kala Jumat.

Permainan judi, kecuali sabung ayam, mulai dilarang dipraktikkan di lingkungan istana. Namun, semua itu tidak bersifat kekangan. Misalnya, mabuk-mabukan dianggap sebagai sebuah dosa, tetapi kegemaran elite istana akan anggur Eropa cenderung dibiarkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement