Selasa 02 May 2017 23:03 WIB

Peringati May Day, Pekerja Muslimah Swedia Tuntut Hak Kenakan Hijab

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Muslim Swedia (ilustrasi)
Foto: EPA/Fredrik Sandberg
Muslim Swedia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Pada Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu, kalangan pekerja Muslimah di beberapa kota di Swedia menggelar demonstrasi. Mereka menyuarakan tuntutan tentang hak perempuan Muslim untuk bekerja dengan menggunakan hijab.

Tuntutan tersebut muncul menyusul sebuah keputusan Pengadilan Keadilan Uni Eropa. Dalam keputusan tersebut, perusahaan swasta dimungkinkan melarang karyawannya mengenakan simbol keagamaan yang tampak, termasuk penggunaan hijab. Keputusan tersebut dinilai sebagai serangan langsung terhadap Muslimah yang mengenakan hijab di tempat kerja.

Saat peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, kalangan pekerja Muslimah menggelar unjuk rasa menuntut hak mereka menggunakan hijab. Aksi ini digelar di beberapa kota antara lain Stockholm, Gothenburg, Vesteras, Sala, Malmo, dan Umea.

Dalam aksi tersebut mereka meneriakkan slogan-sloan seperti "Hancurkan Rasialisme", "Jilbab Saya Bukan Urusan Anda", dan "Pekerjaan adalah Hak Kita".

Salah seorang panitia dan peserta aksi tersebut, Maimuna Abdullahi mengatakan biasanya pekerja Muslimah di daerahnya tidak menggelar aksi demonstrasi dalam rangka memperingati May Day. "Wanita Muslim di sini (Gothenburg) biasanya tidak pergi berdemonstrasi ketika May Day. Jadi ini memberdayakan untuk melihat begitu banyak orang dari berbagai latar belakang memperjuangkan hak-hak buruh," katanya seperti dilaporkan laman Aljazirah.

Peserta aksi lainnya, Khaali Mohammed mengatakan aksi demonstrasi ini memang untuk memperjuangkan hak-hak buruh Muslimah. "Saya mengikuti aksi karena ini hak saya untuk mengenakan apapun yang saya inginkan. Paling tidak aksi ini dapat mendidik masyarakat dan memecahkan kesunyian seputar hak pekerja wanita Muslim," ucap Khaali.

Aftab Soltani, salah satu panitia dan peserta aksi tersebut mengatakan, selain untuk menuntut hak penggunaan hijab, demonstrasi ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan pekerja Muslimah telah menjadi korban diskriminasi. Saat merencakan aksi dan tuntutan utama, Soltani mengaku dihubungi oleh sejumlah aktivis dan seniman di beberapa negara Eropa.

"Para aktivis dan seniman menghubungi kami dan mengatakan mereka akan membawa berbagai tanda untuk mendukung wanita Muslim selama demonstrasi May Day di tempat yang berbeda-beda," ungkap Soltani.

Aksi menuntut hak menggunakan hijab di tempat kerja juga digelorakan di media sosial. Ketika demonstrasi berlangsung, peserta aksi juga menggelorakan tagar #MuslimWomenBan di berbagai media sosial.

Menanggapi keputusan Pengadilan Uni Eropa terkait dimungkinkannya perusahaan swasta untuk melarang pegawainya mengenakan hijab, Hajar El Jahidi dari Forum Eropa untuk Wanita Muslim menilai, keputusan tersebut sebenarnya agak kabur. Keputusan pengadilan, kata dia, sebenarnya tidak mengizinkan pelarangan hijab secara menyeluruh di sektor swasta.

Namun karena tak ada batasan yang tegas, menurutnya, pengusaha dapat sewenang-wenang menentukan apa yang merupakan netralitas di tempat kerja. "Kata-kata pengadilan tentang netralitas di sebuah perusahaan juga menunjukkan bahwa hijab, entah bagaimana, abnormal. Yang selanjutnya mengasingkan mereka," ucap El Jahidi.

Selain itu, keputusan Pengadilan Uni Eropa terkait hal ini juga menyebabkan pengusaha sektor swasta menysipkan klausul netralitas dalam kebijakan mereka. "Ini sebagai dasar untuk menghapus atau melarang pekerja untuk mengenakan hijab," ujar El Jahidi.

Menurut sebuah studi terbaru yang diterbitkan European Network Against Racism (ENAR), diskriminasi terhadap perempuan yang mengenakan hijab di tempat kerja terjadi tiga kali lipat. Karena mereka dinilai berdasarkan jenis kelamin, etnisitas, dan agama.

Hal tersebut tentu membatasi jenjang karier mereka. Karena mereka dipaksa untuk mencari alternatif pekerjaan di dalam komunitas Muslim atau menanggalkan hijabnya.

Menurut ENAR, diskriminasi terhadap perempuan Muslim juga semakin diperparah oleh citra mereka yang dibingkai berbagai media massa. Artikel-artikel tentang terorisme, kekerasan dalam rumah tangga, dan ketidaksetaraan gender, kerap disandingkan dengan foto perempuan yang mengenakan hijab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement