REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pusat Komunitas Muslim di Paris menyeru umat Islam di Prancis untuk bersatu melawan xenofobia, termasuk dalam konteks pemilu di Prancis.
Pemilu di Prancis akhir pekan lalu mengerucutkan dua kandidat yakni kandidat independen Emmanuel Macron dan kandidat dari sayap kanan yakni pemimpin Front Nasional Marine Le Pen. Macron dan Le Pen akan berhadapan kembali dalam putaran lanjutan pemilu Prancis pada 7 Mei mendatang.
Pada, Senin (24/4) lalu, Presiden Masjid Agung Paris merilis pernyataan yang isinya mengajak Muslim Prancis untuk memilih Macron untuk menghindari perpecahan di masyarakat Prancis ke depan, demikian dilansir The Huffington Post, awal pekan ini.
Macron (39 tahun) yang merupakan mantan bankir di sebuah bank investasi mengusung multikulturalisme di Prancis dalam kampanyenya. ''Macro membawa harapan dan kepercayaan akan spiritualisme warga bangsa ini,'' tulis Mufti Masjid Agung Paris, Dalil Boubakeur.
Pemilu 7 Mei mendatang, kata Boubakeur, akan menentukan nasib Prancis dan kelompok minoritas di sana.
Macron sendiri menunjukkan sikap lebih ramah terhadap komunitas Muslim di Prancis. ''Tidak ada agama yang harus dipermasalahkan di Prancis hari ini. Bila sebuah negara harus netral dimana itulah inti sekularisme, maka negara harus membiarkan warganya mempraktikan keyakinannya,'' kata Macron dalam kampanyenya.
Di sisi lain, pesaing Macro dalam pemilu Prancis kali ini mengusung kampanye anti imigran dan anti Uni Eropa. Le Pen (48 tahun) mengkritik keras apa yang ia sebut sebagai Islam fundamentalis dan menentang Muslim secara umum.
''Saya menentang kebijakan boleh menggunakan kerudung di muka umum. Itu bukan Prancis,'' kata Le Pen pada Maret lalu.
Soal status imigran, Le Pen juga menyatakan heran mengapa pendatang ingin mengubah Prancis. Jika ingin melakukan itu, Le Pen meminta mereka kembali saja ke negara asalnya.
Le Pen juga mengatas namakan jiwa Prancis untuk menerapkan larangan makanan halal, melarang pakaian simbol agama di depan publik, dan menghentikan penggunaan burkini.