REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bermula dari perkumpulan di sebuah langgar kecil pada pertengahan 1980-an, Majelis Taklim Al-Anwar mampu bertahan hingga kini. Perhatian dan kepedulian warga di langgar yang ada di sekitar Pela Mampang, Jakarta Selatan, itu mampu mengubah langgar itu menjadi masjid, yaitu Masjid Jami Al-Anwar.
“Sebagian besar swadaya dari masyarakat,” jelas Ketua Majelis Taklim Al-Anwar Hj Samani di Jakarta, pekan lalu. Awalnya, dia tak menyangka perhatian warga sangat besar pada perjalanan majelisnya yang bermula dari kumpulan segelintir ibu-ibu pengajian di Pela Mampang di langgar kecil.
Berkat wakaf tanah dari keluarga tokoh masyarakat sekitar, Haji Hasan, langgar kecil tersebut menjadi tempat ibadah yang lebih besar. Seiring waktu, peserta pengajian pun membeludak. Rancangan sebuah masjid menjadi impian para pengurus musala dan pengajian.
“Sejak 1993, masjid mulai dibentuk agar memenuhi kebutuhan ibadah warga sekitar serta untuk tempat pengajian,” imbuh Samani. Kegiatan pengajian pun berkembang. Sekitar 30 orang hingga 50 orang jamaah pengajian rutin mengkaji ilmu agama di masjid yang berlokasi di Jalan Bangka 2G Nomor 5 ini.
Setiap Senin pukul 14.00 WIB hingga 15.00 WIB, sebanyak empat ustazah tetap mengisi kajian fikih perempuan dan tafsir Alquran. Tadarus Alquran setelah Subuh setiap hari digelar. “Kegiatan Ramadhan nanti, kita lebih intensif lagi,” papar Seksi Umum Majelis Taklim Al-Anwar, Irma Suryani.
Biasanya, para ibu pengajian mengajak warga melakukan qiyamul lail atau shalat malam, iktikaf, dan buka bersama bersama di masjid itu.
Sedangkan pada Muharam, mereka selalu menyalurkan santunan bagi anak yatim. Begitu pula ketika Idul Adha yang diisi penyembelihan hewan kurban.
Salah satu keturunan Haji Hasan, Hj Yuyun, bertekad terus mengembangkan masjid dari wakaf kakeknya agar bermanfaat bagi umat Muslim sekitarnya. Lantaran, jelasnya, daerah tersebut sudah tersohor sebagai pusat pengembangan pendidikan agama Islam.
Ustazah Sinta Santi yang rutin mengisi pengajian menyemangati jamaah majelis taklim ini. “Ramadhan harus disambut dengan peningkatan kapasitas iman, ilmu, serta kesehatan,” ujar Sinta.
Disarikan dari Dialog Jumat Republika