Senin 10 Apr 2017 13:00 WIB

Dr Zakir Naik: Mubaligh Harus Pahami Metode Dakwah

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Ulama asal India Zakir Naik memberi sambutan saat jamuan makan malam di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.
Foto: ANTARA
Ulama asal India Zakir Naik memberi sambutan saat jamuan makan malam di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dai internasional asal Mumbai, India, Dr Zakir Naik berkesempatan melakukan safari dakwah ke Tanah Air. Kedatangannya dinanti jutaan Muslim yang hendak mendengarkan gaya dia berdakwah. Seperti ceramah-ceramah sebelumnya, murid syekh Ahmad Deedat itu pun menyediakan waktu khusus untuk non-Muslim dan atheis yang hendak berdiskusi tentang agama.

"Mubaligh juga harus memahami metode dakwah yang tepat untuk diterapkan kepada kalangan umat berbeda agama (non-Muslim)," ujar dia saat konferensi pers di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) pekan lalu.

Tak hanya mengupas tentang dakwah, Zakir Naik pun ikut berkomentar tentang topik yang sedang menjadi perbincangan hangat di Tanah Air. Yakni memilih pemimpin Muslim sesuai QS al-Maidah: 51. Berikut kutipan pernyataan Zakir Naik saat konferensi pers tersebut.

Bagaimana tren perkembangan Islam di India hari ini?

Populasi Muslim di India terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan, kalau pemerintah mau jujur mengungkapkan statistik yang sebenarnya, jumlah Muslim India saat ini mencapai 18 persen dari total 1,4 miliar penduduk di negara itu. Itu artinya, populasi pemeluk Islam di India sudah melebihi total populasi Muslim di Indonesia.

Anda dikenal sebagai pendakwah yang memiliki fokus kajian terhadap masalah perbandingan agama. Sementara, India sendiri adalah negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Adakah tantangan yang Anda hadapi dalam menyampaikan dakwah di sana selama ini?

Di India, pemerintah memang tidak pernah secara langsung melarang saya menyampaikan dakwah. Tapi, yang mereka lakukan kemudian adalah membentuk opini bahwa Zakir Naik mendukung terorisme dan sebagainya. Pemerintah membohongi publik dengan mengatakan, kegiatan saya selama ini adalah kejahatan.

Akan tetapi, berbagai tudingan negatif itu tidak sedikit pun menyurutkan semangat saya (untuk terus berdakwah). Alhamdulillah, stasiun televisi yang menyiarkan kuliah agama saya, Peace TV, kini sudah memiliki 200 juta penonton.

Menurut Anda, apa yang mesti dimiliki para mubaligh untuk menguasai topik-topik perbandingan agama?

Yang pertama, tentunya kita harus memiliki dasar pemahaman Alquran dan hadis yang kuat. Yang kedua, kita juga harus mempunyai pengetahuan dan referensi tentang kitab-kitab suci agama lain, baik itu Bibel, Weda, ataupun yang lainnya.

Berikutnya, kita juga harus memiliki penalaran yang baik untuk menyanggah argumen-argumen lawan. Terakhir, kita harus mempunyai pengetahuan ilmiah dan data yang valid untuk membuktikan argumen yang kita sampaikan.

Berkaca pada berbagai kasus yang saya pelajari selama ini, ada sekitar 75 hingga 100 ayat Bibel yang kerap digunakan para misionaris dalam menyebarkan agama Kristen. Akan tetapi, di dalam Bibel juga terdapat banyak sekali ayat yang bisa digunakan untuk menyanggah argumen-argumen kekristenan.

Artinya, jika seorang mubaligh bisa menghafalkan dan menguasai 150 hingga 200 ayat (penyanggah kekristenan) saja di dalam Bibel, dia tidak hanya bisa mendebat para misionaris, tetapi juga bahkan Paus (pemimpin tertinggi agama Katolik—Red) sekalipun. Pada poin ini, bisa kita lihat betapa pentingnya penguasaan kitab-kitab agama lain bagi seorang dai yang hendak memfokuskan kajiannya pada perbandingan agama.

Yang tidak kalah pentingnya, para mubaligh juga harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, terutama keterampilan dalam public speaking. Mubaligh juga harus memahami metode dakwah yang tepat untuk diterapkan kepada kalangan umat berbeda agama (non-Muslim).

Isu larangan memilih pemimpin non-Muslim akhir-akhir ini menjadi perdebatan di tengah-tengah umat Islam Indonesia. Perdebatan itu muncul disebabkan adanya perbedaan penafsiran tentang Surah al-Maidah ayat 51. Bagaimana pandangan Anda tentang masalah tersebut?

Ayat itu tidak secara spesifik membahas soal larangan umat Islam menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Karena, yang dilarang oleh Surah al-Maidah ayat 51 adalah menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya.

Kata "auliya" pada ayat itu bermakna teman setia, pelindung, dan juga pemimpin. Dengan begitu, pesan yang disampaikan Surah al-Maidah bukan sekadar soal larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin umat Islam, melainkan juga larangan menjadikan mereka sebagai teman setia dan pelindung. Jadi, auliya memang bisa diartikan sebagai pemimpin, tapi bukan satu-satunya makna dari kata itu.

Jika umat Islam dihadapkan pada dua pilihan antara memilih pemimpin Muslim atau pemimpin non-Muslim, pilihan yang lebih baik tentu saja adalah memilih pemimpin yang seiman. Namun demikian, Allah SWT memerintah umat Islam agar selalu berlaku adil terhadap orang-orang non-Muslim.

Selama mereka (orang-orang non-Muslim) tidak mengusir kita (umat Islam) dari rumah, kita harus berbuat adil kepada mereka. Itu perintah Allah SWT yang disebutkan dalam Alquran. Allah SWT juga memerintahkan kepada kaum Muslim untuk berbuat baik dengan sesama manusia, termasuk non-Muslim. Bahkan, di negara saya, India, sebagian besar masyarakat non-Muslim mencintai saya. Yang membenci saya justru para pemimpin politik di sana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement