REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih dari sisi eksterior, masjid ini memiliki dua fasad. Fasad pertama menghadap ke sisi jalan raya Pintu Gelora Satu Senayan atau berada di sisi selatan bangunan masjid. Lalu, fasad berikutnya menghadap sisi bagian timur.
Dari fasad terlihat jelas sebuah tangga pada bagian tengah bangunan. Tangga ini berada di bagian selasar masjid. Fungsinya untuk menghubungkan lantai dua yang biasa digunakan sebagai tempat beribadah sehari-hari. Sedangkan, lantai dasar berada di bawah tangga. Di lantai ini terdapat pula ruang aula dan juga tempat wudhu.
Dari tampilan fasad itu terlihat tiga undakan masjid. Pada undakan terbawah berbentuk segi empat yang telah divariasi bentuknya. Bagian ini dihiasi oleh celah ruangan dengan bagian atasnya berbentuk bulat serta di setiap ujungnya terdapat bagian dasar dari menara masjid. Lalu, undakan yang berada di tengah memiliki bentuk segi delapan. Sedangkan, pada undakan teratas berbentuk bulat mengikuti pola dari kubah masjid.
Hadirnya tiga bentuk undakan ini memperlihatkan adanya kesamaan terhadap gaya bangunan Byzantine yang pernah berkembang di wilayah Eropa Timur pada abad ke-17. Selain undukan berlapis tadi, tampilan bentuk melengkung yang menghiasi bagian fasad kian meneguhkan adopsi gaya Byzantine ini.
Namun tentunya, adaptasi model luar itu tidak 100 persen sama. Apalagi, masjid yang didirikan pada awal abad milenium, yakni pada 2000. Unsur-unsur modernitasnya hadir melalui ornamen penghias bangunannya.
Walau terkesan megah di luar, bagian dalam tak menunjukkan kemewahan yang berlebih. Bisa dikatakan desain yang ada pada bagian interior masjid ini cukup sederhana. Daya pikat utama hanya ada pada bagian mihrab dan penghias kepala pilar masjid.
Mihrab merupakan tempat imam berada. Bagian ini memperlihatkan pola melengkung di bagian atasnya. Lalu, di bagian tengah mihrab terdapat cerukan. Melihatnya dari kejauhan, ceruk itu ternyata memberikan efek kedalaman yang ada pada bagian mihrab. Model mihrab semacam ini cukup banyak ditemukan di sejumlah masjid kuno di negeri ini.
Adanya asimilasi bentuk dengan bangunan masjid tradisional Masjid Demak tersaji juga di Masjid Al Bina ini. Untuk menopang kubah, terdapat empat tiang utama penyangga atau dinamakan sebagai tiang saka guru. Di sejumlah masjid modern, model tiang semacam ini sudah cukup jarang ditemukan. Di Masjid Demak, tiang sakaguru itu merujuk pada empat wali songo, yakni Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.
Lantas, proses akulturasi gaya arsitektur juga terlihat pada bagian penghias kepala tiang-tiang pilar masjid. Pada bagian kepala dihiasi pola daun dengan ujungnya yang menjuntai menjauhi tiang. Walau menyerupai gaya Corynthia namun hiasan flora yang ada di kepala pilar bangunan ini tidaklah terlalu rummit.
Satu-satunya kemewahan yang tersaji pada bagian interior masjid ini hanyalah lampu kristal. Posisinya menggantung di bawah kubah. Sedangkan, pada bagian dalam kubah, hanya dilumuri cat putih. Bahkan, tulang besi yang ada pada bagian kubah dibiarkan tampil terbuka.