REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mali adalah salah satu negara dengan populasi umat Muslim yang banyak. Tercatat ada sekitar 90 persen umat Muslim dari total populasi negara di Afrika Barat itu. Mereka hidup berdampingan dengan sangat baik dengan umat Kristen dan mereka yang masih memeluk agama tradisional.
Islam masuk ke Afrika Barat pada abad IX. Islam dibawa oleh Muslim Berber dan Tuareg yang sebagian besar merupakan pedagang. Para sufi juga berperan pada penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Pada awal-awal masuknya Islam di kawasan sebelah barat Afrika itu, Kota Timbuktu, Gao, dan Kano dijadikan sebagai pusat pengajaran Islam.
Mali juga memiliki peran penting dalam penyebaran Islam ketika masih dipimpin oleh Raja Mansa Musa (1312-1337). Dia telah berhasil menularkan pengaruh Islam di Mali kepada kota besar lainnya, seperti Timbuktu, Gao, dan Djenne. Bahkan berkat dirinya, pada suatu masa, Timbuktu menjadi salah satu pusat kebudayaan yang tidak hanya berpengaruh di Afrika, tetapi juga di dunia.
Mansa Musa adalah seorang Muslim yang taat. Sepanjang masa kepemimpinannya, dia telah membangun banyak masjid. Mansa Musa menjadi figur yang semakin kuat di mata rakyatnya ketika dia memutuskan untuk melakukan perjalanan haji ke Makkah. Perjalanan itu bahkan masuk dalam catatan sejarah bangsa Eropa.
Salah satu daerah yang terkenal sebagai pusat peradaban Islam di Mali pada abad ke-12 M adalah Timbuktu. Pada abad itu, Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang masyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur.
Secara gemilang, sejarawan abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. “Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad—penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.
Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Sehingga, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.
Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai. Di Timbuktu, garam dijual atau ditukar dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam, pedagang kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara.
Saat ini, Mali diakui sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam dan sangat toleran kepada pemeluk agama yang lain. Bahkan, perbedaan agama di dalam satu keluarga tidak terlalu menjadi masalah di sana. Mereka juga saling menghadiri perayaan hari besar agama.
Selain itu, tidak ada pembatasan peran wanita di negara tersebut. Wanita bisa dengan bebas ikut aktif dalam bidang ekonomi, sosial, ataupun politik. Namun, seperti kebanyakan negara berkembang lainnya, Islam di sana masih mendapatkan pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Dari sudut pandang konstitusi, negara tersebut juga sangat menerapkan kebebasan beragama bagi warga negaranya. Pemerintah sangat menghargai kegiatan ibadah agama apa pun dan melindungi hak setiap warga negaranya untuk melakukan ibadah. Kekerasan terhadap agama lain tidak bisa ditoleransi oleh undang-undang dasar mereka.
Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Mali bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Bahkan, negara tersebut cenderung memilih untuk menjadi sekuler, memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial. Pada pemilihan presiden pada April 2002 yang lalu itulah, pemerintah dan partai politik sepakat untuk menjadikan Mali sebagai negara sekuler.