Jumat 31 Mar 2017 15:45 WIB

Mengenal Tradisi Balaghah

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Agung Sasongko
Syair ilustrasi
Foto: blogspot.com
Syair ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keindahan bahasa memikat umat Islam. Ketertarikan ini kemudian mendorong kaum intelektual mengembangkan kajian tersendiri mengenai subjek ini, disebut dengan balaghah. Banyak ilmuwan bermunculan dan menguasai kajian ini dan melahirkan sejumlah karya. 

Balaghah, memiliki makna segala hal yang merujuk pada retorika atau kejelasan dan keindahan bahasa. Hubungan balaghah dengan Alquran sangat erat. Sebab, selama ini Alquran dinilai sebagai puncak balaghah dan menjadi rujukan dalam membuat syair, pidato, dan pengembangan ilmu persuratan atau leksikografi dalam dunia Islam. 

Meskipun Alquran menegaskan bahwa tak akan ada yang mampu menyamai keindahan bahasanya, para intelektual Muslim berupaya menyamainya. Sejumlah penyair Muslim melakukan hal itu, di antaranya Al-Mutanabbi dan Al Ma'arri. Bahkan, keindahan bahasa terkadang membuat orang melupakan penderitaannya. 

Seorang intelektual Muslim di masa pertengahan, Ja'far Yahya ibnu Khalid al-Barmaki, mengungkapkan, balaghah merupakan upaya untuk menyampaikan pemikiran yang baik dan menyatakan banyak hal dengan sedikit kata. Pandangan ini sama seperti yang dilontarkan cendekiawan lainnya, Suraqah al-Bariqi, yang meninggal pada 699 Masehi. 

Saat al-Bariqi ditanya mengapa dirinya tak menyampaikan kata tambahan dalam khutbah resmi, ia menjawab, apabila seseorang telah menyampaikan seluruh gagasan, orang tersebut telah mencapai tujuannya. Dan selebihnya, kata dia, merupakan rekaan. Keindahan bahasa ini, juga tak jarang mewujud sebagai pelipur lara. 

George A Makdisi dalam Cita Humanisme Islam memberikan contoh peristiwa yang terjadi pada 208 Hijriyah atau 823 Masehi. Saat itu, Makkah dilanda banjir besar dan membuat wilayah itu porak-poranda. Khalifah segera mengirimkan bantuan material untuk meringankan beban rakyatnya.  Terselip pula sepucuk surat bela sungkawa. 

Kata-kata indah dalam surat khalifah begitu memesona rakyatnya. Bahkan, mereka lebih memerhatikan kandungan isi surat itu dibandingkan bantuan material yang disampaikan sang khalifah. Di sisi lain, aspek balaghah yang disukai umat Islam tak hanya dalam bentuk tampilan luar seperti susunan kalimat formal, tetapi juga isinya. 

Seorang penyair bernama Al-Asma'i, syairnya dikenal memiliki ketinggian balaghah, tapi tak berisi. Sedangkan  Abu Ubaydah syair-syairnya padat berisi, namun kurang memiliki balaghah. Hal itu juga terlihat pada cendekiawan Muslim, Tsa'lab. Pada zamannya, ia dikenal berilmu tinggi, tapi ia tak bisa menulis dengan balaghah yang tinggi pula.

Bahkan, surat-surat yang dia tulis tidak jauh berbeda dengan surat-surat yang ditulis oleh orang awam. Tak heran, jika Abdul al-Hamid, seorang sekretaris khalifah Dinasti Umayyah yang masyhur, menyatakan, orang yang tak memiliki kemampuan balaghah tak memiliki kebesaran meskipun kedudukannya setinggi langit. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement