REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahan pertanian yang produktif mestinya tak dibiarkan terbengkalai. Penggarapan lahan dengan baik tentu menghasilkan manfaat baik bagi pemilik maupun orang lain. Maka wajar jika cendekiawan Muslim Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bila Muslim mempunyai lahan pertanian maka harus dimanfaatkan untuk bercocok tanam.
Tak seharusnya lahan pertanian itu dikosongkan begitu saja tanpa digarap. Menurut dia, Islam tak menyukai dikosongkannya lahan pertanian, sebab itu berarti si pemilik telah menghilangkan nikmat dan menghamburkan harta. Dalam bukunya, Halal dan Haram, ia mengungkapkan sejumlah cara penggarapan lahan agar menghasilkan.
Pemilik lahan bisa menanaminya dengan tumbuhan dan atau menaburinya dengan benih tanaman. Dipelihara tanaman atau tumbuhan tersebut hingga saat siap dipanen. “Ini sangat terpuji. Sebab, tanaman itu bisa bermanfaat tak hanya bagi pemiliknya, tetapi juga orang lain,” kata al-Qaradhawi.
Sebagian besar sahabat Anshar memperoleh penghidupan dari kegiatan bercocok tanam. Mereka mengurus sendiri lahan-lahan pertanian yang dipunyainya. Kalaupun memang tak memungkinkan mengelolanya sendiri, pemilik lahan dapat meminjamkannya kepada orang lain untuk mengolahnya. Dia sendiri tak mengambil hasilnya.
Tentang hal ini, Rasulullah SAW mengatakan, siapa yang mempunyai tanah, tanamilah atau berikan kepada kawannya. Demikian diungkapkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Bersandar pada hadis ini, kebanyakan ulama salaf menyatakan pemanfaatan dapat dilakukan di antara dua cara itu.
Lahan itu bisa ditanami sendiri oleh si empunya atau diserahkan kepada orang lain untuk ditanami tanpa imbalan apa pun. Pemilik mengawasi lahan pertaniannya, sedangkan hasilnya diambil oleh penggarapnya. Ada juga cara lain agar lahan pertanian menghasilkan, yaitu dengan cara muzara’ah.
Melalui cara ini, pemilik lahan menyerahkan benih dan peralatan kepada orang yang akan menanaminya, dengan ketentuan ia mendapatkan hasil sebesar yang ditentukan sebelumnya. Misalnya, seperempat, setengah, atau besaran lainnya sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa Rasul pernah menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya diberikan kepada pemilik tanah. Ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Mereka menyatakan, muzara’ah merupakan perkara yang baik dan sudah biasa berlaku.
Hal itu juga dilakukan Rasul sampai beliau meninggal dunia, dilanjutkan Khulafaur Rasyidin dan orang-orang berikutnya. Meski demikian, kata al-Qaradhawi, ada bentuk muzara’ah yang berlaku pada zaman Nabi Muhammad SAW, tetapi kemudian dilarangnya. Sebab, ada unsur penipuan di dalamnya yang melahirkan sengketa.
Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menuturkan, ada sebuah kasus muzara’ah yang melahirkan persengkataan di antara dua sahabat Anshar. Bahkan, mereka hampir saling membunuh. Rasul mengatakan, jika begitu keadannya, ia meminta mereka untuk tak lagi mengulanginya.
Dari keterangan ini, sejumlah kalangan mengatakan bahwa praktik muzara’ah itu dihapuskan. Ibnu Abbas, yang dikutip Sayyid Sabiq, mengungkapkan bahwa perkataan Rasul itu bukan berarti melarang praktik itu, tetapi mendesak agar mereka melakukan hal yang lebih baik dalam kesepakatan agar tak ada yang dirugikan.
Agar tak terjadi perselisihan, kedua belah pihak menerima hasil dari garapan pertanian sedikit atau banyak. Tidak layak satu pihak mendapatkan hasil yang besarnya tak sesuai dengan apa yang dihasilkan lahan itu. Bisa jadi, pemilik mengambil semua hasil pertanian itu sedangkan si penggarap tak memperoleh apa-apa.
Seharusnya, kedua belah pihak mengambil hasil garapan melalui kesepakatan yang adil dan tak merugikan kedua belah pihak. Artinya, jika hasil pertanian berlimpah maka keduanya bisa menikmatinya. Jika sedikit, mereka masing-masing mendapatkan dengan jumlahnya yang pastinya sedikit pula.
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, baik pemilik lahan maupun penggarap harus mempuyai sikap toleransi.’’Pemilik lahan jangan meminta hasil terlalu tinggi dari hasil panen. Demikian pula dengan pihak yang menggarap, tak merugikan pemilik lahan,’’ katanya menegaskan.
Ia menambahkan, ada cara lain untuk menghindari lahan pertanian tak didayagunakan, yaitu dengan menyewakan tanah tersebut dengan imbalan uang. Orang yang mempunyai lahan menyerahkannya kepada orang yang sanggup mengolahnya dengan cara menyewakannya dengan bayaran uang dalam jumlah tertentu.
Mayoritas ahli fikih yang masyhur membolehkan praktik ini. Namun, sebagian lain melarangnya. Menurut Sayyid Sabiq, dibolehkan sewa tanah untuk bertani dengan uang, makanan, dan lainnya yang dikategorikan sebagai harta. Ia menunjukkan hadis yang diriwayatkan oleh lima perawi kecuali Tirmidzi.
Hadis itu menyebutkan, Hanzalah bin Qais bertanya kepada Rafi bin Khudaij tentang tanah. Rafi menjawab bahwa Rasulullah melarangnya. Kemudian, Hanzalah berkata, “Dengan uang emas dan perak?” dan dijawab oleh Rafi, “Adapun dengan uang emas dan perak itu tak mengapa.”
Menurut Sayyid Sabiq, pengikut mazhab Maliki dan Syafii mengikuti hal itu. Sementara itu, Imam Nawawi menegaskan bahwa pendapat dalam hadis tersebut yang paling kuat dan utama dibandingkan pendapat lainnya