REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pro dan kontra wacana standardisasi khatib dan isi dakwah masih bergulir. Beberapa tokoh ulama masih meragukan apakah program yang di canangkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin akan sesuai harapan ulama.
“Standardisasi ini mengada-ada. Ulama/khatib kan bukan profesi seperti dokter atau yang lain. Agak riskan kalau dibuat formal seperti ini,” ujar Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman saat dihubungi Republika.co.id pada Kamis (23/3).
Pedri mengatakan, dakwah itu adalah tugas setiap Muslim. Karena esensi dakwah adalah menyampaikan dan saling mengingatkan antarumat.
Mnurut dia, akhir-akhir ini ada beberapa khatib yang metode dakwahnya sedikit keras. Namun, jangan sampai digeneralisasi semua ulama atau khatib seperti itu. “Saya kira dampaknya sangat jelas. Secara tidak langsung nanti akan melakukan pembatasan pada gerak ulama," kata Pedri.
Pedri menjelaskan, standardisasi ini sangat bertentangan dengan ketentuan zaman, yang sudah semakin terbuka. Seharusnya dilakukan dengan pendekatan profesional, seperti dialog dan musyawarah dengan para ulama dan tokoh agama Islam.
Sependapat dengan Pedri, Ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Ahmad Satori Ismail menuturkan, ini berkaitan dengan jamaah masjid, dengan keinginan yang bermacam-macam. “Contoh dari kelompok NU, senangnya dengar tokoh NU. Persis senangnya dengan tokoh Persis. Tapi sebenarnya itu wajar sekali,” kata Satori.
Satori mengatakan, dari tubuh umat Islam harus semakin menghargai keberagaman. Jangan sampai kefanatikan pada satu golongan dan aliran dalam Islam berpengaruh pada isi dan tujuan dakwah.