REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Inggris berencana melarang imam ceramah atau khutbah menggunakan bahasa apapun selain bahasa Inggris. Pemerintah berdalih, ini merupakan usaha untuk membendung ujaran kebencian.
Dilansir dari Metro.co.uk, Senin (13/3), satuan tugas kontra-ekstrimisme mengungkapkan kekhawatiran berbahasa asing saat khutbah, akan mendorong perpecahan. Mereka menganggap, imam yang berbahasa asing lebih sulit dipahami jika radikalisasi sedang berlangsung.
Mereka tampaknya mengesampingkan kekhawatiran kalau tindakan itu akan melanggar undang-undang kebebasan beragama. Pasalnya, imam non-Uni Eropa sudah harus membuktikan mereka bisa berbahasa Inggris, sebelum mendapatkan visa menuju Inggris.
Sejumlah negara di Timur Tengah sudah memaksa imam-imam khutbah berbahasa Inggris secara online (daring) sebagai bukti. Padahal, sejak 2007, hanya delapan persen imam lahir di Inggris dan dari 300 masjid hanya enam persen imam berbahasa Inggris sebagai bahasa pertama.
Tahun lalu, Perdana Menteri David Cameron mengatakan, imam harus berbahasa Inggris demi mencegah jamaah tercemar retorika beracun dari apa yang disebut ISIS. Cameron juga mengindikasikan kewajiban itu turut dikenakan terhadap perempuan.
Ia meyakini, apa yang dikatakan MP Gareth Johnson benar, yaitu kalau bahasa Inggris memiliki efek pemersatu dan membantu menciptakan identitas nasional. Tapi, kala itu, ide tersebut dibantah juru bicara pemerintah yang menepis lewat sebuah pernyataan resmi.
"Tidak ada rencana untuk melisensi imam atau mengharuskan imam memiliki tingkat minimum kemampuan berbahasa Inggris di luar persyaratan visa yang sudah ada," ujarnya.