REPUBLIKA.CO.ID, BORDEAUX--- Pemerintah kota dan federasi Muslim Bordeaux, Prancis, bekerjasama dan meluncurkan program untuk melawan Islam radikal di Perancis.
Di gedung balai kota, Imam Bordeaux, Fouad Saandadi bertemu dengan orangtua yang bingung dan anak-anak yang rapuh, bahkan beberapa diantaranya tidak pernah mendatangi masjid. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga dan lingkungan sosial yang bermasalah.
Akibatnya banyak yang tidak stabil secara mental. Untuk itu, ia dan sekelompok kecil ahli berusaha secara maksimal memerangi musuh Islam yaitu kelompok ektremisme.
"Peran saya adalah untuk tidak memberitahu orang-orang tentang Islam yang benar. Tetapi untuk membantu membangkitkan pendekatan kritis yang bertujuan untuk mencegah radikalisasi. Kami di sini bukan untuk menghadapi melainkan untuk membangkitkan kesadaran kritis,” ujar Saandadi seperti dilansir laman DW.
Menurut pemerintah kota Bordeaux, semakin banyak masyarakat di seluruh Eropa mencari cara untuk melawan ekstremisme, menyusul gelombang serangan teroris yang besar apalagi di Prancis dimana dalam dua tahun terjadi tiga serangan teror. Selain itu, Prancis juga menjadi eksportir terbesar di Eropa Barat yang menyalurkan pejuang ekstrimis.
Tidak seperti negara Jerman dan Inggris, Prancis adalah pendatang baru terhadap pendekatan hukum dalam melawan radikalisme. Laporan Senat baru-baru ini menyebutkan pendekatan negara dalam menanggulangi radikalisasi menunjukan kegagalan.
Pada tahun 2015 lalu, Prancis juga telah memperkenalkan langkah-langkah baru untuk mempromosikan sekularisme di sekolah-sekolah dan untuk mencegah radikalisasi. Langkah ini mengikuti keluhan bahwa sejumlah mahasiswa menolak untuk menghormati korban serangan Paris.
Sementara faktor-faktor sosial, politik dan psikologis adalah kunci utama untuk melawan radikalisasi. Beberapa ahli juga percaya pola pikir keras sekuler negara itu dan hubungan yang sulit dengan Islam menimbulkan hambatan tambahan.
"Mereka menjadi radikal atas nama agama. Mereka mengidentifikasi diri dengan versi radikal Islam, sehingga kita tidak bisa mengabaikannya,” ujarseorang sosiolog yang berbasis di Paris, Farhad Khosrokhavar.