REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW memiliki seorang paman yang sangat disayanginya. Beliau adalah Abbas bin Abdul Muthalib. Bukti rasa hormat Rasulullah kepada pamannya itu tergambar dalam kata-katanya, Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barang siapa yang menyakitinya sama dengan menyakitiku.
Seperti dirawikan dari Kisah Singkat Sahabat Nabi Muhammad, kasih sayangnya Nabi terhadap sang paman semakin erat dengan masuk Islamnya Abbas bin Abdul Muthalib. Namun, para sejarawan masih memperdebatkan kapan tepatnya sahabat istimewa tersebut menerima hidayah Allah SWT. Apakah setelah penaklukan Khaibar 629 M atau sebelum pecah Perang Badar pada 624 M.
Abbas bin Abdul Muthalib sendiri tidak kalah sayangnya terhadap keponakannya itu. Semenjak masa kanak-kanak hingga remaja, Rasulullah kerap diajak untuk membantu pamannya.
Abbas pun begitu bangga memiliki keponakan yang berjulukan al-Amin ('yang paling tepercaya') di tengah kaumnya. Perbedaan usia antara Nabi dan Abbas bin Abdul Muthalib pun tak terpaut jauh. Dalam catatan sejarah, saudara bungsu ayah Nabi itu lahir sekitar tiga tahun sebelum peristiwa Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Ka'bah.
Cahaya Islam meliputi istri Abbas terlebih dahulu sebelum suaminya. Ia adalah Lubabah binti Harits, yang juga merupakan sahabat karib Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta Nabi.
Karena itu, sosok Lubabah disebut pula perempuan kedua yang memeluk Islam pertama kali setelah Khadijah. Pasangan suami istri ini Abbas bin Abdul Muthalib dan Lubabah dikaruniai empat orang anak, yakni al-Fadhl, Abdullah, Ubaidillah, dan Qasim.
Meski belum menerima Islam, Abbas bin Abdul Muthalib selalu menjaga wibawa Nabi Muhammad dan melindunginya. Ia mengancam kepada siapa pun yang berani menyakiti keponakannya itu, termasuk tokoh-tokoh musyrik Quraisy.
Hal ini tampak dari peristiwa baiat al-Aqabah pada 622 M. Walaupun belum beragama Islam, Abbas menemani Nabi Muhammad untuk menerima 75 utusan dari Yastrib (Madinah).
Kepada mereka, Abbas meminta jaminan akan keamanan keponakannya itu bila kelak sewaktu-waktu kaum Muslim terpaksa menyelamatkan diri ke Yastrib. Mereka pun menyepakatinya. Nabi kemudian membacakan ayat-ayat suci Alquran dan membaiat para utusan dari Yastrib itu.
Waktu terus bergulir. Tetap saja, sikap penduduk musyrik Makkah kian hari kian keras terhadap Nabi dan umat Islam. Allah pun memerintahkan Rasulullah dan para pengikutnya di Makkah untuk berhijrah.
Abbas bin Abdul Muthalib sebenarnya ingin ikut menyertai keponakannya itu. Namun, Nabi melarangnya dan meminta pamannya tersebut memberikan perlindungan kepada orang-orang Islam yang masih tersisa di Makkah lantaran belum bisa ikut berhijrah.
Khususnya mereka yang berasal dari kaum papa. Abbas menyetujuinya. Bahkan, Abbas bin Abdul Muthalib tinggal bersama kaum Muslim yang fakir miskin, menyiapkan perbekalan bagi hijrahnya mereka dan melunasi utang-utang mereka. Abbas pun bertindak sebagai mata-mata untuk melaporkan keadaan Makkah sepeninggalan Nabi ke Yastrib.