Selasa 07 Mar 2017 20:00 WIB

Jati Diri Islam di Sudan

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Warga Sudan melaksanakan shalat Zhuhur di sebuah masjid tua di Ibu Kota Khartoum.
Foto: AP Photo/Abd Raouf
Warga Sudan melaksanakan shalat Zhuhur di sebuah masjid tua di Ibu Kota Khartoum.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketika terpilih pada tahun 1989, Presiden Omar Hassan Abdullah al Basyir melakukan islamisasi, di antaranya dengan memberlakukan hukum Islam. Sejak itulah, muncul kekhawatiran di negara-negara asing yang berusaha mendiskreditkan negara Islam tersebut.

Tudingan sebagai negara sponsor fundamentalis dan teroris pun disematkan, serta berbagai propaganda maupun stigma negatif lainnya. Sudan pun mendapat julukan sebagai ‘Irannya Arab’.

Tak ayal pula, Sudan dicap sebagai lahan subur bagi perkembangan kaum fundamentalis sekaligus tempat pelatihan para teroris. Sikap permusuhan dari negara asing semakin menghebat ketika hubungan negara ini dengan Iran justru kian mesra.

Seketika, Sudan dikucilkan secara politis maupun ekonomi. Pada tahun 1993, Sudan dimasukkan ke dalam daftar negara yang menjadi sponsor dan pendukung terorisme global.

Penerapan syariat Islam yang disokong oleh Barisan Islam Nasional pimpinan Dr Hasan Turabi sejatinya merupakan upaya Sudan untuk mengukuhkan jati diri. Hal tersebut ditopang keyakinan bahwa Islam akan membawa Sudan mencapai kondisi tertib, makmur, dan sejahtera.

Agama Islam dianut oleh mayoritas penduduk. Islam pun sudah demikian mengakar di kehidupan bermasyarakat. Sejarah mencatat, agama Islam masuk ke Sudan sejak abad 7 yang berasal dari Mesir ketika masih berkuasa dinasti Umayyah.

Ketika itu, penguasa Islam di Mesir bersepakat menjalin hubungan erat dengan masyarakat Sudan, yang masih bernama Nubia. Sejak itu, arus perdagangan dan kontak sosial semakin intens. Banyak pedagang Arab dan Mesir tiba di Sudan setelah melintasi wilayah pinggiran Sungai Nil.

Islam diperkenalkan kepada warga setempat, baik melalui dakwah langsung, perkawinan, maupun lewat kontak dagang. Sebagian pedagang Arab memilih menetap di Sudan yang selanjutnya menghidupkan roda perekonomian di kota-kota di sana.

Pada abad 16, terbentuklah kerajaan Islam di wilayah utara yang bernama Kerajaan Fung. Ibu kotanya di Sennar. Ada lagi kerajaan Islam yang tumbuh di barat dengan nama Darfur. Kedua kerajaan ini memegang peranan penting bagi perkembangan Islam di Sudan.

Dari penjelasan Prof Ahmad Sikainga, ahli Afrika dari Universitas Ohio, Sudan tidak berbeda dengan negara-negara Afrika Barat lainnya dalam hal karakteristik Islam terkait dengan sufisme, dan Islam yang egaliter.

‘’Sehingga, ketika berhubungan dengan masyarakat tradisional yang berbeda keyakinan, Islam sangat toleran,’’ katanya, dalam laman /Afropop/.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement