REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain, baik seseorang itu pribadi tertentu maupun berbentuk badan hukum, seperti perseroan, firma, yayasan dan negara. Badan hukum ini dalam hukum Islam disebut dengan nama asy-Syakhisiyyah al-I'tibariyyah. Contoh dari hukum Islam yang berhubungan dengan muamalah ini adalah jual beli, sewa menyewa, dan perserikatan.
Pada awal munculnya, bidang bahasan fikih oleh para fukaha (ahli fikih) dibagi dalam tiga bagian besar, yakni akidah, ibadah dan muamalah. Akidah mengandung kepercayaan kepada Allah SWT, rasul, malaikat dan hari kiamat dan sebagainya yang berkaitan dengan keimanan. Bidang ibadah mengandung permasalahan yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan bidang muamalah adalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesamanya dalam masyarakat.
Dalam bidang muamalah ini, pada mulanya juga tercakup masalah keluarga, seperti perkawinan dan perceraian. Akan tetapi, setelah terjadinya disintegrasi di dunia Islam, khususnya di zaman Turki Ustmani, maka terjadilah perkembangan pembagian fikih baru.
Bidang muamalah cakupannya dipersempit, sehingga masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga tak masuk lagi dalam pengertian muamalah. Muamalah tinggal mengatur permasalahan yang menyangkut hubungan seseorang dengan seseorang lainnya, dalam bidang ekonomi (seperti jual beli, sewa menyewa dan pinjam meminjam). Fikih muamalah dalam perkembangannya disebut juga fiqh al-mu'awadah.
Dalam fikih muamalah, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Misalnya, dalam melaksanakan hak dan bertindak, tindakan tersebut tidak boleh menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Setiap orang yang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, sekalipun tidak disengaja, akan diminta pertanggungjawabannya.
Pada setiap transaksi, terdapat beberapa prinsip dasar yang ditetapkan syarak. Pertama, setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang bertransaksi, kecuali transaksi yang jelas-jelas melanggar aturan syariat. Kedua, syarat-syarat transaksi itu dirancang dan dilaksanakan secara bebas namun bertanggungjawab.
Ketiga, setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Dan keempat, syari' (pembuat hukum) mewajibkan agar setiap perencanaan transaksi dan pelaksanaannya didasarkan atas niat baik, sehingga segala bentuk penipuan dan kecurangan, dapat dihindari.
disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta