REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siraj berkesempatan bertatap muka dan berdiskusi dengan Grand Syekh al-Azhar Mesir Ahmad Muhamed al-Tayeb di sela-sela Konferensi Internasional Kebebasan, Kewarganegaraan, Keragaman dan Persatuan di Hotel Fairmont Kairo, kemarin, Rabu (1/3).
Kang Said, begitu akrab disapa, menyampaikan Indonesia adalah negara multietnis, multiagama, dan multibahasa, dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, tetap bersatu dalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Pancasila.
Umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas mampu menaungi keragamaan yang ada dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Keragaman yang ada tidak menjadi kendala untuk bernegara dalam sistem demokrasi yang disepakati oleh semua komponen bangsa.
“Ini adalah kesyukuran yang sangat mendalam,” kata dia dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (2/3).
Namun kata Kang Said, sebagai negara dengan penduduk Muslim Suni terbesar, Indonesia saat ini mendapat tantangan dengan kehadiran dua kelompok sekaligus yaitu liberal dan radikal.
Dua kelompok ini terus berupaya menyudutkan penganut Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang mengutamakan moderat (tawasuth), keseimbangan (tawazun), dan toleransi (tasamuh).
Mereka berkeinginan membawa mayoritas umat Islam kepada radikalisme dan liberalisme. Untuk itu, NU sebagai salah satu benteng Aswaja terbesar di Indonesia selalu berupaya merangkul semua kelompok agar kembali kepada Islam yang penuh rahmat.
“Islam yang penuh kasih sayang melalui risalah kemanusiaan Islam rahmatan lilálamin,” tutur dia.
Syekh Ahmad Mohamed al-Tayeb yang juga Ketua Muslim Cauncil of Elders (Majelis Hukama el-Muslimin) menegaskan bahwa NU dan al-Azhar memiliki misi yang sama, dan saat ini kedua institusi tersebut juga mendapat tantangan serupa.
Menurut Ahmad Tayeb, al-Azhar bisa bertahan hingga seribu tahun lebih antara lain adalah karena Al-Azhar senantiasa merangkul semua golongan, berusaha menjadi penengah setiap konflik antargolongan, dan menempatkan risalah Islam yang moderat dan toleran sebagai perisai perjuangan mempertahankan Islam Aswaja.
Kendati demikian, ungkap dia, posisi di atas tidak jarang disalahpahami oleh kelompok-kelompok yang tidak punya iktikad baik terhadap persatuan Islam.
Tidak jarang kebijakan al-Azhar ditentang kelompok-kelompok tersebut. Kelompok yang keras menuduh al-Azhar liberal, sementara kelompok liberal menuduh Al-Azhar radikal.
“Tetapi itulah risiko posisi di tengah, moderat, banyak yang ingin menarik ke kiri atau ke kanan,” ujar dia.
Dalam kesempatan tersebut, kedua institusi menjajaki kemungkinan kerjasama di bidang pendidikan dan dakwah. Menurut Said, pesantren di bawah naungan NU saat ini mencapai 12 ribu lebih. Mereka mewarisi metode belajar Islam seperti tradisi al-Azhar.
Selain itu, tidak sedikit dari pesantren-pesantren ini yang mengembangkan pendidikan modern dengan mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap dalam nuansa pesantren yang menekankan pentingnya akidah, akhlak, dan syariah.