REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Ulama Muslim dan Kristen terkemuka di Timur Tengah mengeluarkan pernyataan terkait terorisme. Menurut mereka, tidak ada hubungan sama sekali antara Islam dan terorisme. Untuk itu, mereka mendesak agar tidak ada lagi pihak yang mengaitkan Islam dengan terorisme.
Pernyataan ini disampaikan oleh para ulama dalam konfrensi koeksistensi agama yang diadakan di Mesir. Menurut para ulama, pernyataan presiden AS Donald Trump yang mengatakan ia akan melawan terorisme Islam radikal telah menimbulkan kekhawatiran dan kesalahaman. Islam dan organisasi radikal adalah hal yang berbeda.
"Konferensi ini menuntut bahwa mereka yang menghubungkan Islam dan agama-agama lain dengan terorisme untuk segera berhenti mengatakan hal tersebut,” ujar Sheikh Al-Azhar Ahmed Tayeb seperti dilansir dailymail.co.uk (1/3).
Menurutnya, jika masih ada pihak yang mengaitkan Islam dengan terorisme itu artinya membuka peluang bahwa semua agama adalah terorisme. Mengakui tindakan ekstremis dengan menghubungan tindakan mereka dengan jihad, maka akan memberikan legitimasi terkait apa yang mereka lakukan.
Ia menambahkan, tindakan yang dilakukan pelaku ekstremis tidak mencerminkan perintah Alquran dan Nabi Muhammad. Mereka mengartikan ayat-ayat Alquran di luar konteks.
Konfrensi yang dilaksanakan oleh Islamic Centre Al Azhar dan Dewan Muslim Abu Dhabi (MCE) ini akan mengangkat tema "Kebebasan, Kewarganegaraan, Keanekaragaman dan Integrasi”. Grand Shaikh Al Azhar Ahmad Al Tayyeb dan Koptik Paus Tawadros II akan memimpin konfrensi yang dihadiri oleh ulama dan cendekiawan.
Delegasi Muslim dan Kristen yang berasal lebih dari 50 negara akan berkumpul di ibukota Mesir, Kairo Selasa waktu setempat. Mereka akan membahas koeksistensi yang didasarkan pada penghormatan terhadap kebebasan dan kewarganegaraan. Peserta konfrensi juga termasuk kepala gereja-gereja Ortodoks Oriental serta intelektual Muslim dan Kristen.
Konfrensi ini diharapkan dapat merumuskan visi kemanusiaan di masa datang khususnya tentang koeksistensi antara mayoritas Muslim dan minoritas Kristen. “Pembicara konferensi diharapkan dapat menyoroti hidup di dunia Arab yang berdampingan dan keragaman pengalaman Islam-Kristen di dimensi Oriental dan global,” ujar penyelenggara acara seperti dilansir http://gulfnews.com (27/2).
Topik lain dalam konfrensi ini mencakup kebebasan-keragama, interelasi serta peran negara dalam menjaga kebebasan dan keberagaman. Selain itu, konfrensi juga akan berfokus pada aksi Muslim dan Kristen untuk mengatasi fanatisme, militansi dan terorisme dengan tujuan untuk menghentikan manipulasi agama dalam sengketa.
Konferensi ini diadakan di tengah turbulensi regional dan kekerasan radikal. Selama beberapa hari terakhir, puluhan orang Mesir dari komunitas Kristen di negara itu melarikan diri dari Semenanjung Sinai karena serangkaian serangan mematikan oleh ekstrimis Islam.
Dalam konfrensi ini dtetapkan pakta integritas yang menyerukan pengikut Islam dan Kristen untuk hidup bersama dalam harmoni dan menghormati prinsip-prinsip kewarganegaraan, kebebasan, partisipasi dan keragaman.
MCE adalah lembaga independen internasional yang bertujuan untuk mempromosikan perdamaian di masyarakat Muslim, menghilangkan sektarianisme dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan Islam toleransi dan moderasi. MCE terdiri dari tokoh Muslim, ulama, para ahli dan pejabat. Shaikh Al Tayyeb, yang sebelumnya menjabat sebagai mufti Mesir, akan memimpin organisasi.
Anggota dewan termasuk Mufti Besar Dubai Ahmad Al Haddad, Presiden Forum untuk Mempromosikan Perdamaian di Masyarakat Muslim, Mauritania Abdallah Bin Bayyah dan profesor di Institut Dunia Islam Universitas Zayed di UAE, Kaltham Al Muhairi. Anggota MCE juga terdiri dari Arab Saudi, Indonesia, Pakistan, Aljazair, Tunisia, Lebanon, Nigeria, Sudan dan Amerika Serikat.