Selasa 28 Feb 2017 05:15 WIB

Larangan Burqa dan Ketakutan akan Imigran Muslim di Belgia

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Muslimah Belgia.
Foto: ibtimes.com
Muslimah Belgia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Disetujuinya rancangan peraturan yang melarang pemakaian cadar di tempat umum oleh parlemen Belgia, membawa dimensi baru dalam kehidupan umat Muslim setempat. Belgia akan menjadi negara pertama yang secara resmi melarang pemakaian cadar. Busana khas Muslimah ini memang telah menjadi sasaran 'tembak' kalangan anti-Muslim sejak beberapa tahun terakhir.

Sebelumnya, sebuah komite di parlemen menyepakati kebijakan ini melalui voting pada akhir bulan lalu. Nantinya, setelah diratifikasi, rancangan peraturan itu barulah diundangkan. Di situ tercantum pengenaan sanksi bagi yang melanggar, yakni denda sebesar 25 Euro atau hukuman kurungan selama tujuh hari.

Kelompok anti Islam menyambut gembira perkembangan ini. Sejatinya, upaya untuk menggegolkan kebijakan diskriminatif tersebut telah dilakukan sejak 2004. Adapun di tataran komunal, muncul pelarangan-pelarangan dari otoritas sekolah dan tempat kerja di sejumlah distrik terhadap pemakaian cadar atau jilbab.

Sulit dimungkiri, munculnya masalah itu karena kekhawatiran yang berlebihan. Anggota parlemen sayap kiri Denis Ducarme menegaskan peraturan itu bertujuan untuk mengeliminir ancaman dari kaum radikal Muslim. Ia mengatakan, aturan tegas ini memberikan sinyal yang kuat bagi kelompok Islam tertentu.

Dia berpendapat, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi seseorang, bisa menimbulkan konsekuensi keamanan yang sangat serius. Denis juga menilai cadar merupakan 'penjara berjalan' bagi kaum wanita dan mengekang kebebasan mereka.

Senada dengan pernyataan tersebut, ketua promotor RUU, Daniel Bacquelaine, menengarai bahwa cadar bisa saja digunakan untuk menggelar demonstrasi kekerasan dengan menutupi wajah mereka. Ia memperkirakan hanya sekian ratus wanita di Belgia yang bercadar, namun diakui trennya mulai meningkat.

''Mengenakan cadar di tempat umum bertentangan dengan karakteristik masyarakat Belgia yang terbuka, liberal dan toleran,'' sambungnya.

Tensi tinggi melingkupi jantung Eropa ketika keberadaan imigran Muslim yang semakin kuat, dirasakan sebagai ancaman. Baik dalam arti fisik, juga secara dominasi dan eksistensi. Apa yang timbul di Belgia, Prancis, Swiss dan lainnya, membuktikan sinyalemen tadi.

Dari analisa Michael Radu, co-chairman Center on Terorism and Counterterorism, Foreign Policy Research Institute of Philadelphia, Eropa Barat kini sedang menghadapi dilema yang pada awalnya dipicu oleh kebijakan yang terlalu membuka diri terhadap imigran.

Sejarah mencatat, kawasan ini pernah mengalami derasnya arus kedatangan imigran pada era 60 dan 70an. Ada banyak alasan yang mendasari, antara lain konflik berkepanjangan di negara asal, permintaan suaka politik, mencari pekerjaan, atau menempuh studi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement