REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Alquran, pembangunan Tower of Babel (Menara Babilonia) ini serupa dengan cerita Firaun yang bermaksud ingin melihat Tuhannya Nabi Musa AS. Dalam surah Alqashash ayat 38 disebutkan, ''Dan, berkata Firaun, ''Hai, pembesar kaumku, aku tidak mengetahuai tuhan bagimu, selain aku. Maka, bakarlah, hai Haman, untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa. Dan, sesungguhnya, aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang yang pendusta.'' Pernyataan serupa juga terdapat dalam surah Almu'min ayat 36-37.
Pembangunan sebuah kota, seperti yang dilakukan Nimrodz ketika itu, melambangkan dambaan manusia untuk terus berkumpul. Mereka, ketika itu, takut tercerai-berai dan hidup di tempat yang belum mereka kenal, apalagi berhadapan dengan bahaya. Karena itu, didirikanlah sebuah kota--Babilon dan Niniwe--sebagai pusat kegiatan, sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Akan tetapi, ketika mereka membangun menara itu, mereka berkata, ''Marilah kita cari nama, marilah memegahkan diri.'' Di saat itulah, kemanusiaan yang berkuasa. Menara dibangun untuk kebutuhan badan, jiwa, dan semangat. Bahkan, mereka ingin membangun menara yang mencapai langit. Kalau perlu, dapat memanah matahari dari puncak menara. Pendek kata, menara dibangun untuk pemuasan diri.
Inilah, yang menurut kisah, yang menjadi penyebab turunnya hukuman dari Tuhan sehingga mereka tercerai-berai dan tidak bisa memahami bahasa mereka satu sama lain.
Sindrom Menara Babel itu pula, menurut para sejarawan, merasuki Nebuchadnezzar II, yakni dengan membangun Taman Gantung dan Menara Babel di kompleks istananya. Ia membangun kompleks istana begitu megah yang sekarang sisa-sisanya masih bisa dilihat dan memerintahnya dengan tangan besi.
Kota Babilonia selama masa pemerintahan Nebuchadnezzar II, yang memerintah pada tahun 605 SM-562 SM, mencapai puncak keemasannya.