Senin 06 Feb 2017 09:51 WIB

Enam Hal Mencegah Lalai

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu tokoh sufi terkemuka asal Khurasan pada abad ke-8 M adalah Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim al-Balkhi. Sejak muda, tokoh yang wafat pada 149 H/ 810 M ini, terkenal dengan sikap zuhud, wara', dan ketakwaannya. Keputusannya untuk meninggalkan gemerlap dunia berawal dari kisah sederhana.

Terlahir dari keluarga saudagar yang berlimpahan harta, ia pun dipercaya menjalankan bisnis orang tuanya. Saat melancong ke Turki, ia bertemu dengan seorang penyembah berhala yang tengah asyik menghambakan diri di hadapan benda-benda tak bernyawa itu. Mereka berpenampilan botak dan tanpa memelihara jenggot dengan busana serbahijau.

 

Merasa risih akhirnya ia menegur para penyembah berhala itu. “Wahai pelayan, sesungguhnya kami memiliki Tuhan yang mahahidup, mahatahu, mahakuasa, sembahlah Dia dan jangan ikuti berhala-berhala yang tak bermanfaat itu.”

Pernyataan itu membuat kaget mereka yang mendengarnya. Tak terima dengan ungkapan tersebut, mereka menjawab: “Jika memang apa yang kamu ucapkan itu benar bahwa Tuhanmu Mahakuasa untuk memberikan rezeki kamu di negerimu, mengapa kamu bersusah-susah datang kemari untuk berdagang?”

Detik itu juga, hatinya teriris, kata demi kata itu mampu menancap kuat di hatinya. Ia sadar, dunia telah melalaikannya selama ini. Sejak kejadian itulah, al-Balkhi membuat keputusan besar untuk menjauh dari gemerlap dunia hingga ia menekuni tasawuf dan pakar di bidangnya. Tak sedikit murid yang berguru kepadanya, termasuk Hatim al-Asham.

Hatim al-Asham dan para muridnya kerap menemani sang guru dalam berbagai kesempatan. Tidak terkecuali pada masa perang. Meski terkenal sebagai pakar sufi, al-Balkhi sering terlibat jihad. Pernah suatu ketika, seperti dinukilkan oleh Hatim, peperangan terjadi untuk menyerbu Turki. Tumpukan mayat, tombak, dan pedang yang patah tak membuat nyalinya ciut. “Demi Allah, hari ini saya merasa tenteram seperti malam itu,” kata Hatim menirukan perkataan sang guru. 

Hatim menemani al-Balkhi selama hampir 30 tahun. Kurun waktu yang lama itu, memberikan kedekatan antarkeduanya. Hubungan antara seorang murid dan guru tak lagi ada sekat. Keduanya bahkan saling belajar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement