Jumat 03 Feb 2017 13:23 WIB

DPD RI Serahkan Kesepakatan Tokoh Agama dan Ormas kepada MUI

Pertemuan pimpinan dan sejumlah anggota DPD RI bersama Ketua MUI KH Ma'ruf Amin di Kantor MUI, Jakarta Kamis (2/2)
Foto: Istimewa
Pertemuan pimpinan dan sejumlah anggota DPD RI bersama Ketua MUI KH Ma'ruf Amin di Kantor MUI, Jakarta Kamis (2/2)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan dan sejumlah anggota DPD RI (senator) menemui Ketua MUI KH Ma'ruf Amin di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Kamis (2/2). Hadir Ketua DPD RI Muhammad Shaleh, Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad, senator asal Sulawesi Selatan AM Iqbal Parewangi dan Aziz Kahar Muzakkar, Juniwati (Jambi), Dedi Iskandar Batubara (Sumatra Utara), dan Chalid Mahmud (Yogyakarta).

Rombongan diterima langsung oleh Ketua Umum MUI KH Maruf Amin didampingi Ketua MUI KH Abdullah Jaidi, Sekjen MUI Anwar Abbas, Wakil Sekjen Muhammad Zaitun Rasmin dan sejumlah pimpinan MUI lainnya. Dalam pertemuan itu, pimpinan DPD RI menyampaikan kesepakatan para tokoh lembaga keagamaan dan ormas bersama DPD RI dalam menyikapi permasalahan bangsa.

Kesepakatan tersebut ditandatangani Rabu (1/2) di gedung DPD RI. Berikut ini isi kesepakatan yang dibacakan Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad.

Kami menyadari bahwa bangsa kita akhir-akhir ini disamping diterpa berbagai bencana alam, juga menghadapi bencana sosial yang serius, berupa menguatnya kekhawatiran dan kecemasan atas sejumlah isu serta terjadinya perbedaan persepsi yang tajam di dalam masyarakat dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa.

Melalui pertemuan para tokoh, kami terpanggil membangun kesamaan persepsi dan pemahaman untuk menatap masa depan Indonesia yang lebih baik serta lahir pemikiran solutif menyikapi kondisi aktual kebangsaan. Pertemuan yang berlangsung penuh keakraban dan dialogis ini menghasilkan tiga kesepakatan sebagai berikut rilisnya yang kami terima, Jumat  (3/2) :

1. Menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk tidak lagi mempersoalkan keberagaman apalagi dengan saling menuduh satu sama lain sebagai intoleran, tidak pancasilais, antikebhinekaan, mengancam NKRI, dan yang serupa, baik secara langsung maupun melalui media massa dan media sosial. Daripada gencar saling menuding pihak lain, lebih baik kita menyatukan sikap dan upaya menghadapi ancaman riil dari dalam dan luar negeri, seperti radikalisme/terorisme, penyebaran komunisme, neo liberalisme dan ajaran-ajaran lain yang merongrong Pancasila, narkoba, tenaga kerja asing illegal/nonskill, dan lain-lain.

2. Mendorong Pemerintah dalam hal ini aparat keamanan dan penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum yang berkeadilan secara profesional dan bertanggungjawab. Penegakan hukum menjadi tidak efektif dalam kondisi pembiaran sehingga tidak menjamin adanya kepastian hukum.

Pengambilan tindakan atas suatu pelanggaran hukum yang melibatkan antar komponen bangsa seyogyanya mengoptimalkan langkah persuasif dan menghindarkan diri dari sikap yang dapat memberi kesan keberpihakan karena justru dapat semakin mempertajam perbedaan antar komponen. Sejalan dengan itu kepada Pemerintah diharapkan untuk meluruskan kembali kebijakan-kebijakan yang tidak mencerminkan keadilan sosial dengan membangun kesantunan sosial termasuk penggunaan media sosial secara bertanggungjawab serta toleransi dan keberagaman berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

3. Memohon kepada Presiden selaku Kepala Negara untuk mengadakan suatu forum “Dialog Rekonsiliasi Nasional” yang melibatkan semua komponen bangsa, formal - informal, parpol - ormas, lembaga keagamaan, lembaga adat/budaya/kedaerahan, cendekiawan, pemuda, mahasiswa dan lain sebagainya. Pertemuan tersebut diharapkan membuka kesempatan masing-masing pihak yang berbeda paham dan keinginan untuk membicarakan berbagai permasalahan bangsa dan mencari solusi untuk mengatasinya sampai dihasilkannya suatu konsensus nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement