REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Rovicky Dwi Putrohari, dalam tulisannya tentang ''Rahasia Air Zamzam'' menyebutkan, dalam sebuah uji pemompaan (pump test), sumur ini mampu mengalirkan air sebesar 11-18.5 liter per detik atau mencapai 660 liter per menit atau sekitar 40 ribu liter per jam. Ini dilakukan sebelum tahun 1950-an.
Kemudian, pada tahun 1953, dibangunlah pompa air. Pompa ini menyalurkan air dari sumur ke bak penampungan air dan di antaranya juga ke keran-keran yang ada di sekitar sumur zamzam. Pada saat dilakukan pengujian, pada pemompaan 8000 liter per detik selama 24 jam, air yang ada dalam sumur zamzam mengalami penyusutan sedalam 3,23 meter.
Dan, ketika pemompaan dihentikan, hanya dalam waktu 11 menit kemudian permukaan sumur kembali ke asalnya. Padahal, jarak Kota Makkah ke laut (pantai) sejauh 75 kilometer. Ini menunjukkan bahwa banyak air yang tersimpan dalam sumur zamzam hasil dari rekahan (celah) bebatuan yang ada pada perbukitan di sekitar Makkah.
Kemusykilan inilah yang kemudian 'mengusik' para ahli hidrogeologi untuk meneliti lebih lanjut tentang keanehan sumur zamzam. Dengan jarak yang relatif jauh dari laut, dari mana sumber air begitu cepat berkumpul kembali di sumur zamzam?
Rovicky dalam tulisannya menyebutkan, banyak celah atau rekahan bebatuan yang ada di sekitar tempat itu. Disebutkan, ada celah (rekahan) yang memanjang ke arah Hajar Aswad dengan panjang 75 cm dengan ketinggian 30 cm, juga beberapa celah kecil ke arah Shafa dan Marwah.
Keterangan geometris lainnya menyebutkan, celah sumur di bawah tempat tawaf sekitar 1,56 meter, kedalaman total dari bibir sumur 30 meter, kedalaman air dari bibir sumur sekitar empat meter, dan kedalaman mata air 13 meter. Dari mata air sampai dasar sumur mencapai 17 meter dan diameter sumur berkisar antara 1,46-2,66 meter. Celah-celah inilah yang kemudian memasok air ke sumur zamzam.
Mungkinkah air zamzam tercemar?
Pertanyaan ini sering kali diembuskan oleh kelompok yang tidak percaya akan keajaiban sumur zamzam ataupun mereka yang berusaha menyelamatkan sumur zamzam.
Tahun 1971, kata Rovicky, dilakukan penelitian hidrologi oleh seorang ahli hidrologi dari Pakistan bernama Tariq Hussain dan Moin Uddin Ahmed. Penelitian ini dipicu oleh pernyataan seorang doktor dari Mesir yang menyatakan bahwa air zamzam tercemar air limbah dan berbahaya untuk dikonsumsi.
''Tariq Hussain, termasuk saya (Rovicky--Red), dari sisi hidrogeologi, juga meragukan spekulasi adanya rekahan panjang yang menghubungkan laut merah dengan sumur zamzam karena Makkah terletak 75 Kilometer dari pinggir pantai,'' ujar Rovicky.
Hasil dari penelitian ini menyangkal dengan tegas tuduhan doktor Mesir tersebut. ''Namun, dari penelitian Tariq Hussain ini, kemudian memacu Pemerintah Arab Saudi untuk senantiasa memerhatikan sumur zamzam dan merawatnya dengan baik,'' jelas Rovicky yang juga anggota Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI).
Langkah-langkah yang dilakukan badan riset sumur zamzam yang berada di bawah SGS (Saudi Geological Survey) bertugas untuk (a) memonitor dan memelihara sumur ini dari kekeringan; (b) menjaga urban di sekitar Wadi Ibrahim karena memengaruhi pengisian air; (c) mengatur aliran air dari daerah tangkapan air (recharge area); (d) memelihara pergerakan air tanah dan juga menjaga kualitas melalui bangunan kontrol; (e) meningkatkan (up-grade) pompa dan tangki-tangki penadah; serta (f) mengoptimalisasi suplai dan distribusi air zamzam.