REPUBLIKA.CO.ID, BUKIT TINGGI -- Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) menegaskan jangan tuding umat Islam Indonesia intoleran dan anti-kebinekaan. Menurut Wakil Ketua GNPF-MUI, Zaitun Rasmin, keberadaan pemimpin non-Muslim di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, bukti tolerannya umat Islam sangat menjaga kedaulatan dan kebinekaan negara.
“Jangan mengajari kami tentang pentingnya menjaga kebinekaan. Kami sudah membuktikan dengan dengan sebenar-benarnya (kebinekaan tegak),” katanya dalam acara Tabligh Akbar Subuh Nasional Spirit 212 di Masjid Raya Bukit Tinggi, Sumatra Barat, Selasa (3/1).
Zaitun yang juga Ketua Umum Wahdah Islamiyyah ini mengatakan kebangkitan dan optimisme spirit 212 akan terus berlanjut. Umat Islam tidak boleh berhenti berjuang, apalagi berputus asa. “Kekalahan adalah musibah, putus asa adalah musibah yang lebih besar,” sosok kelahiran Gorontalo ini.
Spirit 212 salah satunya adalah spirit untuk menegakkan hukum dengan sebenar-benarnya. Yaitu hukum yang konsisten dan berkeadilan. Konsisten artinya tidak pandang bulu, tidak tajam ke bawah tumpul ke atas.
Zaitun kembali mengingatkan bahwa Spirit 212 ini mengandung tiga semangat yang perlu dipertahankan dan dikobarkan terus yaitu semangat persatuan dan perjuangan, semangat satu komando, dan semangat perjuangan damai.
Zaitun yang juga Ketua Ikatan Ulama dan Dai se-ASEAN ini mengingatkan pentingnya perlawanan terhadap kemungkaran inkarul munkar. Kepedulian mengubah kemungkaran akan menghindarkan bangsa dan negara dari musibah. “Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam surah al-Anfal ayat ke-25,”katanya.
Yang lebih penting lagi, kata dia, adalah kepedulian mengubah kemungkaran. Bila masih ada orang peduli terhadap kemungkaran, masih bisa terhindar dari musibah umum yang menimpa semua orang, baik yang zalim maupun yang saleh.
Dia menyebutkan, semangat inkarul munkar dalam Aksi Bela Islam 1, II, dan III pernah ada dalam sejarah umat Islam. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat pernah keluar berbondong-bondong saat Hamzah masuk Islam.
Pada masa berikutnya, Aisyah dan Mu’awiyah keluar menuntut agar Khalifah Ali menegakkan hukum atas pembunuh Utsman. Aksi ini berbeda dengan jihad qital (perang).
Inkarul Munkar, ujar dia, dilakukan dengan lisan karena kaum Muslimin tidak memegang kekuasaan. Tidak cukup sendirian, harus bersama-sama dengan aksi damai.
Ini juga terhitung jihad yang paling utama seperti penegasan hadis bahwa menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang tidak menegakkan keadilan alias zalim adalah sebaik-baik jihad (afdhal al-jihad kalimatu haqqin ‘inda sulthanin ja’ir). Zaitun juga menekankan, inkarul munkar terhadap penguasa juga harus disertai dengan kesabaran.