\Baca Puisi di Masjid Raya Baiturrahman\
(I)
Betapa kehormatan sangat besar bagi saya
Mendapat undangan dua kali puisi dibaca
Di Masjid Raya yang tujuh buah kubahnya
Seratus enam puluh delapan pucuk tiangnya
Tiga ratus sembilan puluh satu tahun umurnya
Pertama malam di depan rehal duduk bersila
Kedua selepas shalat Jum’at di atas mimbar di sana
(II)
Getaran sejarah nyaris empat abad panjangnya
Di depan mihrab ini sampai anginnya terngiang suara
Arabia, Turki, Mesir, Portugis, Spanyol, Belanda
Cina, Amerika, Brunei, Semenanjung Malaya
Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam membangunnya
Tahun 1614, ketika itu dua puluh satu baru umurnya
Negeri sangat majunya, aman, makmur dan sejahtera
Kerajaan berlandas empat rukunnya
Pedang keadilan dan kitab undang-undang tegak bersama
Kemudian ilmu pengetahuan topang-menopang dengan bahasa
Sawah, kebun, ikan, ternak, hutan-rimba rapi diaturnya
Lada dan sutera diekspor ke delapan negara
Pandai emas, pandai kapal, pandai besi jadi basis industri
Dalam negeri ekonomi, luar negeri diplomasi
Militernya lengkap dengan altileri, kavaleri dan infanteri
Angkatan Perangnya penuh perempuan pemberani
Kapal-kapal perangnya lebih besar ketimbang kapal perang Eropa
Begitu tulis Beaulieu, orang Perancis di Aceh sebagai Duta
Kapal ukuran sedangnya 120 kaki panjangnya
Cantik tapi berat, lebar dan tinggi pula
Meriamnya besar, setiap kapal muat 700 tentara
Kapal yang disimpan di pantai, ditarik oleh gajah bersama
Pasukan gajah Sultan 90 ekor banyaknya
(IV)
Getaran sejarah itu sangatlah terasa
Tapi kini abad 21, betapa besar bedanya
Banda Aceh tinggal lagi sepertiga
Lebih seratus ribu manusia serentak kehilangan nyawa
Rabu malam, sebelum 1 Muharram di Masjid Raya
Jum’at siang selepas shalat jamaah bersama
Saya bacakan sembilan puisi saya
Tentang tak mampunya kita membaca tanda-tanda
Bisakah kita siap bila sewaktu-waktu kita dipanggil-Nya
Betapa sukarnya bagi saya menyampaikannya
Pada saudara-saudara saya yang jauh lebih menghayatinya
Di bahu mereka tak terbilang bobot beban derita
Masing-masing kehilangan tiga, sepuluh, dua puluh anggota keluarga
Rumah remuk, ijazah lenyap, simpanan binasa, hari depan di mana
Mereka sangat tenang menyimak, terasa pada sinar mata
Seusai baris terakhir, turun mimbar, berdatanganlah mereka
Mengerubungi, menyalami, merangkuli saya
Ada orang berlima yang terisak-isak susah berhentinya
Bergantian di bahu menyandarkan kepala
Dan meneteskan air mata
“Tolong pak, tolong carikan anak saya…”
2005
Al-Fatihah untuk arwah para korban.