REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Momen hari ibu jadi sarana refrleksi tak hanya bagi para ibu, tapi juga berbagai pihak yang berperan dalam menyiapkan para calon ibu.
Ketua Fatayat NU Anggia Ermarini menjelaskan, ibu adalah madrasah pertama dan utama dalam keluarga yang perannya penting sekali hari ini. Banyak fenomena tentang sosok ibu di masyarakat yang perlu jadi refleksi.
Ada kasus ibu menganiaya anak atau menyandera anak sebagai upaya mengancam suaminya. Ini fenomena yang tidak tepat. Hari ini perhatian harus juga dicurahkan kepada para ibu. Terorisme, narkoba, dan kekerasan sasarannya anak-anak dan lelaki, padahal ada peran ibu di sana untuk jadi benteng. Meski pun tidak semua kesalahan kemudian disebabkan para ibu.
''Negara juga harus hadir bertanggungjawab untuk mengedukasi para ibu. Mendapati ibu yang berkualitas itu perlu proses, tidak ujug-ujug. Kalau ibunya baik, ia akan mengajarkan anak-anaknya yang baik dan itu berantai,'' ungkap Anggia kepada Republika, Rabu (21/12).
Hari Ibu jadi refleksi pula sudahkan semua pihak turut berperan menyiapkan para ibu untuk siap mendidik anak-anak. Bicara anti korupsi, mulanya dari para ibu. Peran ibu untuk mengenalkan Islam secara kaffah juga bermula dari rumah.
Ibu tidak hanya memberi didikan formal, tapi juga didikan nilai, mengenalkan ideologi, nilai kebangsaan, kebiasaan baik, dimana itu semua bermula dari rumah, dari ibu. ''Banyak hal yang tidak tepat sekarang banyak dianggap wajar. Pendidikan nilai itu dari ibu,'' kata Anggia.
Ibu bekerja dalam pandangan Fatayat NU tidak masalah. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman, kaya raya dan bekerja. Dalam konteks hari ini, para ibu perlu mengelola waktu berkualitas dengan anak dan dengan aktualisasi diri. Bukan berarti dengan bekerja di luar lalu keluarga terlantar.
Ibu bisa berbagi tugas dengan ayah seputar tugas di rumah. Ada komunikasi yang baik antara suami istri dan keluarga. ''Ibu-ibu di Fatayat itu sudah menikah, tapi tetap kontributif kepada masyarakat. Kami punya konsep Keluarga Maslahat, keluarga rapi dan tetap berkontribusi bagi masyarakat,'' ungkap Anggia.
Fatayat NU tidak setuju pernikahan di bawah umur. Selain secara biologis belum cukup matang, sosiologis psikologis calon ibu pun belum cukup kuat. Menikah itu bukan hanya urusan daripada zina.
Ketika anak-anak 12-15 tahun menikah, perlu dipastikan apakah bisa berkomunikasi baik dengan suami, keluarga, dan mertua. Komunikasi yang baik dan musyawarah itu dibutuhkan dalam keluarga. Saat ini Fatayat sedang mengembangkan modul dakwah melalui keluarga sebagai bentuk penguatan keluarga dari rumah. Imunitas dari kebiasaan buruk harus mulai dari rumah.