Rabu 14 Dec 2016 04:26 WIB

Perang Topat, Tradisi Kerukunan Umat Islam dan Hindu di Lombok

Rep: Muhammad Nursyamsyi / Red: Nur Aini
Daun Ketupat (Ilustrasi)
Daun Ketupat (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Umat Islam dan Umat Hindu di Lombok saling berperang Selasa (13/12) ini. Kompleks Pura Lingsar di Kabupaten Lombok Barat menjadi saksi nyata aksi saling lempar dalam peperangan tersebut. Namun, tak ada darah, tak ada air mata, hanyalah keceriaan dan kegembiraan yang didapat dari acara bertajuk Perang Topat ini. Aksi saling lempar ketupat berukuran mini antar umat Islam dan umat Hindu menjadi simbol bagaimana menjaga kerukunan umat beragama tak lagi sebatas kata-kata.   

Pantauan Republika.co.id, sebagian massa mengambil tempat di halaman Pura Gaduh, yang menjadi tempat persembahyangan umat Hindu. Sedangkan, sebagian lagi berada di halaman depan bangunan Kemaliq, yang disakralkan bagi sebagian masyarakat umat Muslim Sasak (Suku di Lombok).

Begitu aba-aba perang dimulai dengan ditandai lemparan ketupat oleh Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid, massa kedua kubu pun saling melemparkan ketupat. Tak ada amarah, baik umat Islam maupun umat Hindu justru saling lepas tawa untuk saling membalas lemparan.

Tokoh Adat di Lingsar, Suparman, mengungkapkan, perang topat merupakan tradisi turun temurun yang terus dijaga masyarakat Lingkar dalam menjaga kerukunan umat beragama. Ia menerangkan, Kompleks Pura Lingsar merupakan sebuah Pura yang dibangun pada 1759 saat zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali yang sempat berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad ke-17 silam.

Dalam pura ini, ada dua bangunan besar yakni Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan umat Hindu, dan bangunan Kemaliq yang disakralkan sebagian umat muslim Sasak dan masih digunakan untuk upacara-upacara ritual adat hingga kini. Masyarakat Desa Lingsar, ujarnya, selalu menggelar ritual perang topat pada hari ke-15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu (Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan ke enam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasi kenem (Purnama bulan keenam).

"Pada malam purnama, umat Hindu akan melaksanakan upacara Pujawali. Sedangkan umat muslim akan melakukan napak tilas memperingati jasa Raden Mas Sumilir, seorang penyiar agama Islam dari Demak, Jawa Tengah, yang menyiarkan Islam di Lombok pada abad 15," ujarnya mengisahkan.

Uniknya, masyarakat akan membawa sisa ketupat yang digunakan saling lempar untuk ditaburkan di sawah. Salah satunya, Warga Narmada, Lombok Barat, Syaviq Wahyudi yang sengaja membawa hasil ketupatnya untuk ia tanamkan di sawahnya.

Ia juga mengaku senang dengan acara perang topat. Menurutnya, acara ini terbukti mampu merekatkan rasa persatuan antar umat beragama di Lombok. "Bagus juga tarik wisatawan, Sekarang tambah ramai, dan bagus untuk kedua umat," ungkapnya usai acara.  

Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid menegaskan, tradisi perang topat harus terus dilestarikan. "Perang dengan topat adalah perang yang ingin kuatkan tali persaudaraan dan silaturahmi antara Muslim dan Hindu," katanya.  

Dia menerangkan, sejarah perang topat bermula saat kedatangan umat Hindu dari Bali ke Lombok pada abad 16 yang sampai ke Desa Lingsar yang kala itu sudah didiami umat Muslim. "Melihat kedatangan orang Bali, komunitas Muslim sudah siap-siap untuk perang dan menyerang, tapi ada seorang kyai yang mendamaikan kedua komunitas yang awalnya mau perang," ujarnya.

Akhirnya perang dalam arti sebenarnya bisa dihindarkan, dan diganti dengan prosesi perang topat yang masih terjaga hingga kini. "Bhineka tunggal ika tidak hanya dalam kata dan diucapkan secara lisan, tapi oleh warga di sini dipraktikan dalam tingkah laku," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement