REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nur Suharno
Michael Hart seorang penulis Barat dalam bukunya The 100, a Rangking of The Most Influential Persons in History dengan sangat obyektif menempatkan Nabi SAW sebagai seorang pemimpin paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki kecerdasan manajerial yang tinggi dalam mengelola dan menempatkan anggota masyarakatnya dalam berbagai posisi sesuai kemampuannya.
Seperti apa kecerdasan manajerial yang diteladankan oleh Nabi SAW dalam memimpin tersebut? Antara lain, mengedepankan akhlak mulia. Akhlak menjadi kekuatan Nabi dalam memimpin (QS al-Qalam [68]: 4). Dan ketika ditanyakan kepada Aisyah RA tentang akhlak Nabi, ia menjawab Alquran (HR Muslim).
Memiliki rasa empati. Jika Nabi SAW berbicara, yang lain diam menunduk seperti ada burung di atas kepalanya. Tidak pernah disela pembicaraannya, membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya. Tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa yang diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, tidak menerima pujian kecuali dari yang pernah dipuji olehnya (HR Tirmidzi).
Mengedepankan keteladanan. Dikisahkan dari al-Barra’ bin Adzib, ia berkata: “Kulihat beliau mengangkuti tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perutnya. Sempat pula kudengar beliau bersabda, “Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bersedekah dan tidak shalat. Turunkanlah ketenteraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak yang sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya.”
Membangun kebersamaan. Nabi SAW mengusulkan ide win-win solution dalam penyelesaian peletakan hajar aswad. Direntangkan sebuah kain besar, kemudian hajar aswad diletakkan di bagian tengahnya. Lalu, Nabi SAW meminta kepada setiap pemimpin kabilah memegang ujung kain itu. Setelah itu, hajar aswad disimpan ke tempat semula di Ka’bah. Cara seperti itu, tidak ada satupun kabilah yang merasa dirugikan, bahkan mereka sepakat menggelari Nabi sebagai al-Amin (orang yang terpercaya).
Tegas dalam penegakan supremasi hukum. Nabi SAW tidak pernah menetapkan hukum dengan rasa belas kasihan, pilih kasih, atau tebang pilih. Nabi SAW tegas dan tidak memihak siapa pun. Baik kepada pejabat pemerintahannya, sahabatnya, masyarakat kecil maupun anggota keluarganya sendiri, termasuk anaknya.
Bijak dalam mengambil keputusan. Sebelum memutuskan suatu perkara, Nabi SAW memikirkannya secara matang dan mengacu kepada kaidah Alquran. Seperti ketika beliau memutuskan sanksi rajam terhadap seorang wanita pelaku perzinahan.
Dengan demikian, jika para pengelola negeri ini mau mengkaji dan meneladani kecerdasan manajerial Nabi SAW dalam memimpin, niscaya negeri ini akan menjadi bangsa yang tangguh dan mandiri. Buktikan!