Senin 05 Dec 2016 05:19 WIB

Hukum yang Berkeadilan

Meneladani Rasulullah SAW.
Foto: 4shared.com
Meneladani Rasulullah SAW.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fajar Kurnianto

Dikisahkan, seorang wanita di zaman Rasulullah SAW pada Fathu Mekah tepergok mencuri. Wanita itu bernama Fatimah, putri seorang pembesar suku Makhzum. Lalu, Rasulullah SAW memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong sesuai ketentuan syariat Islam. Mengetahui keputusan hukum itu, Usamah bin Zaid pun menemui Rasulullah SAW untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut.

Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah SAW langsung berubah. Beliau lalu bersabda, “Apakah kamu akan minta pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah?” Usamah lalu menjawab, “Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah.” Pada sore harinya, Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang-orang.

Setelah memuji Allah, beliau SAW bersabda, “Amma badu. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Apabila Fatimah binti Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya.” Setelah bersabda begitu, beliau SAW pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu. (HR al-Bukhari).

 

Kisah lainnya, seperti disebutkan dalam kitab Shuwar min Hayah At-Tabiin karya Abdurrahman Rifaat Basya, suatu hari putra Syuraih bin al-Harits berkata kepada ayahnya yang seorang hakim generasi tabiin, “Wahai Ayah, aku sedang memiliki perkara dengan suatu kaum. Aku berharap ayah mempertimbangkannya. Jika kebenaran ada di pihakku, maka putuskanlah di pengadilan. Tapi jika kebenaran ada di pihak mereka, maka usahakanlah jalan damai.

Lalu dia menceritakan semua masalahnya. Syuraih pun berkata, “Ajukanlah masalahmu ke pengadilan!” Kemudian, putra Syuraih mendatangi orang yang berselisih dengannya dan mengajak mereka untuk memperkarakan masalah antara mereka ke pengadilan dan mereka pun setuju. Begitu mereka berada di pengadilan hakim Syuraih, ternyata hakim Syuraih tidak memenangkan putranya.

Setibanya di rumah, putra Syuraih berkata kepada ayahnya, “Wahai Ayah, keputusan Anda telah membuatku malu. Demi Allah, kalau saja sebelumnya aku tidak bermusyawarah dengan Anda, tentulah aku tidak menyalahkan Anda.” Syuraih pun berkata, “Wahai putraku, demi Allah aku mencintaimu lebih dari dunia dan seisinya. Tetapi, bagiku Allah lebih agung dari itu semua dan dari dirimu. Aku khawatir jika aku beritahukan terlebih dahulu bahwa kebenaran berada di pihak mereka, maka engkau akan mencari jalan damai dan itu merugikan sebagian hak mereka. Oleh sebab itu, aku putuskan perkara seperti yang engkau dengar tadi.”

Syuraih, seperti halnya Nabi SAW di masa lalu, hanya berpijak dan berpihak pada kebenaran dalam memutuskan perkara hukum. Itulah bentuk hukum yang berkeadilan dan orang-orang pun merasakan keadilan di dalamnya. Rasulullah SAW adalah teladan dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

Nabi SAW berhasil menjaga hukum tetap di posisi terhormat dan disegani sehingga tidak ada satu pun pelanggaran hukum yang tidak ditindak dan diputuskan hukumnya oleh Beliau. Setiap perkara hukum yang diajukan kepada Nabi SAW selalu beliau tangani dengan baik dan diputuskan dengan adil.

Hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu; siapa pun, dengan jabatan apa pun, kedudukannya sama di muka hukum. Sayangnya, hukum di negeri ini tampaknya belum sepenuhnya memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, terutama kalangan bawah atau biasa. Hukum diibaratkan seperti pisau, tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Jika yang beperkara di pengadilan adalah penguasa versus rakyat biasa, besar kemungkinan yang menang adalah pihak penguasa. Begitu pula jika yang beperkara adalah bagian dari penguasa, ia potensial juga menjadi pemenang. Rakyat biasa kerap kalah, senantiasa menjadi korban. Wallahu alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement