Jumat 02 Dec 2016 04:43 WIB

Penjajah Belanda dan Islam Menyatukan Indonesia

Rep: antara/ Red: Muhammad Subarkah
Salah satu karya paling fenomenal Raden Saleh, lukisan 'Penangkapan Pangeran Diponegoro'. Lukisan yang dibuat pada 1857 itu dihadiahi Raden Saleh kepada Raja Belanda William III.
HOS Tjokroaminoto

Hariman Siregar, pimpinan gerakan mahasiswa yang melahirkan apa yang terkenal dengan peristiwa Malari (Mala Petaka Januari), 1974, sebuah demonstrasi anti pemerintahah Presiden Soeharto, berpendapat bahwa pemerintah jangan menyakiti hati umat Islam, mayoritas penduduk Indonesia.

"Jangan sakiti hati umat Islam," kata Hariman dalam sambutannya pada peluncuran buku "Bertasawuf Di Zaman Edan" karya Bambang Wiwoho di Jakarta pada 22 November 2016. Hariman mengaku pengetahuannya tentang Islam baru sedikit, belajar dari mertuanya, Prof Sarbini Sumawinta, ekonom UI, orang Sunda yang lahir di Madiun, beraliran Sosialis (PSI) dan pernah menjadi ketua tim ahli politik Jendral Suharto di awal Orde Baru .

Pembangunan, lanjut Hariman, jangan lebih berfokus untuk kepentingan golongan tertentu yang sudah kaya, melainkan untuk kepentingan rakyat, yang mayoritas beragama Islam. Orang boleh berdebat, suara Islam tidak satu, tapi terbagi dalam berbagai aliran, mahzab dan organisasi. Tapi, bila keyakinan akan tauhid (keesaan Tuhan), kesucian Nabi Muhammad SAW dan kebenaran Al-Quran dilecehkan, maka mayoritas umat Islam, terlepas perbedaan aliran, mahzab dan organisasi, akan bangkit bersatu.

Cokroaminoto, guru para tokoh pergerakan nasionalis, komunis dan Islam sekaligus, pun segera bangkit membentuk dan memimpin Tentara Kanjeng Nabi Muhammad SAW (TKNM) gara-gara Rasulullah Saw dilecehkan oleh sebuah tulisan di majalah "Jawi Hisworo" yang terbit di Solo awal tahun 1918.

Artikel tersebut membuat umat Islam marah, menyulut reaksi keras dengan pembentukan TKNM tanggal 17 Februari 1918. TNKM berdiri hampir di seluruh Jawa, kecuali Semarang dan Yogyakarta, serta sebagian Sumatera. Gerakan TKNM berhasil menghimpun aksi massa yang melibatkan sekitar 175 ribu orang.

Pak Tjokro, yang tercatat lahir di desa Bakur, kecamatan Sawahan Madiun adalah tokoh Islam terpelajar pada jamannya. Anggota SI disebut mencapai 2,5 juta orang, jumlah terbesar yang pernah dapat diraih sebuah organisasi waktu itu. Karena besarnya jumlah pengikutnya, ia digelari "Raja Jawa Tanpa Mahkota". Sebagai jago pidato atau orator ulung yang dapat memukau pendengarnya selama beberapa jam, Pak Tjokro mendapat gelar "Singa Podium". Kemampuan serupa dimiliki oleh sang murid, Bung Karno, yang berani menilai pidato sang guru kurang berwarna alias monoton.

Orang boleh menyebut tingkat pendidikan mayoritas rakyat Indonesia belum tinggi dan menjadi Muslim karena sangat dipengaruhi emosi (perasaan). Tentang peranan perasaaan, ada pendapat bahwa keimanan penganut agama dan keyakinan apa pun dipengaruhi oleh perasaan.

Dalam politik praktis, kondisi umat Islam yang mayoritas dianggap masih kurang terpelajar dan belum sejahtera adalah sebuah realitas politik (real politik) yang harus diperhatikan secara seksama oleh para politisi dan penguasa.

Alasannya, mereka adalah sumber suara mayoritas. Jika mau sukses meraih dan mempertahankan kekuasan, umat Islam harus didekati, dirangkul s dan diajak berdialog.

Generasi muda penerus Eyang Cokro sekarang sudah jauh lebih maju. Sudah banyak yang menempuh pendidikan di negara Barat dengan menggondol gelar S3. Generasi "Y" Muslim kini juga menguasai teknologi muthakir dan sanggup menandingi serbuan "Buzzer" yang dianggap merugikan kepentingan umat Islam.

Tentang cinta Tanah Air dan bela negara, di kalangan umat Islam ada semboyan: "Hubbul Wathan Minal Iman" (Mencintai Tanah Air adalah bagian dari Iman).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement