Senin 28 Nov 2016 15:00 WIB

Sejarah Warga Rohingya Kehilangan Kewarganegaraan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agung Sasongko
Warga etnis Rohingya naik sepeda roda tiga di sebuah tempat pengungsian bagi orang-orang Rohingya luar Sittwe di negara bagian Rakhine, Myanmar 15 November 2016.
Foto: Reuters/ Soe Zeya Tun
Warga etnis Rohingya naik sepeda roda tiga di sebuah tempat pengungsian bagi orang-orang Rohingya luar Sittwe di negara bagian Rakhine, Myanmar 15 November 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pada masa kolonial, protes anti-India (yang di dalamnya terdapat pula Bengali)

pecah di Burma karena perasaan tidak adil atas penempatan warga Bengali di area permukiman khusus di Arakan, Tenasserim, dan daerah rendah Burma. Protes itu juga terjadi di Rangoon dan kota-kota utama lain pada 1926 dan 1938.

Namun, tidak pernah berdampak apa pun kepada warga di Arakan, termasuk warga Muslim. Kehidupan bersama yang damai antara dua kelompok agama di Arakan senantiasa ter jaga hingga awal Perang Dunia II.

(Baca: Di Masa Lalu, Raja-Raja di Myanmar Hormati Umat Islam)

Ketika Perang Dunia II berkecamuk, Inggris menelantarkan Arakan di tengah ekspansi Jepang ke Asia Tenggara.

Di tengah kepanikan Inggris menarik diri tanah jajahannya, pasukan Muslim dan Buddha malah terlibat konflik terbuka.

Kala itu, sebagian Rohingya masih berharap proteksi Inggris. Bahkan, ada beberapa Rohingya yang bekerja sebagai mata-mata atas Jepang bagi tentara Sekutu.

Saat mengetahui itu, Jepang membantai Rohingya di Arakan. Akibatnya, puluhan ribu Rohingya Arakan sekali lagi mengungsi ke Bengal.

(Baca Juga: Narasi Keliru dan Istilah Rohingya)

Diakui sebagai warga negara Lepas dari kolonialisme Inggris, parlemen Myanmar pada 1948-1962 mengakui Rohingya sebagai warga negara. Perdana Menteri U Nu menyebut kelompok Muslim Rakhine dengan istilah Rohingya.

Kepada orang Rohingya, Pemerintah Myanmar saat itu memberikan kartu tanda penduduk dan dokumen legal, memberi hak kewarganegaraan, bahkan beberapa program siaran radio mengudara dalam bahasa orang Rohingya.

Peneliti London School of Economics, Maung Zarni bahkan, mengunggah beberapa dokumen bahasa Burma yang menunjukkan pengakuan Pemerintah Burma atas etnis Rohingya selama dipimpin Perdana Menteri U Nu dan era awal masa kepemimpinan Jenderal Ne Win.

Termasuk di dalamnya adalah pernyataan masyarakat, bukti siaran radio resmi, buku yang dicetak lembaga resmi pemerintah, dan aneka izin yang resmi diterbitkan pemerintah.

Beberapa anggota parlemen Myanmar pascakemerdekaan secara terbuka menyebut diri mereka orang Rohingya.

Mereka menolak memasukkan kawasan permukiman Rohingya ke dalam Negara Bagian Arakan.

Karena itu, pada 1961,U Nu memutuskan untuk membagi Buthidaung, Maungdaw, dan separuh Rathedaung yang didiami warga Rohingya menjadi wilayah administrasi bernama Mayu Frontier Administration yang terpisah dari mayoritas Buddha di Arakan.

Namun, semua berubah saat Myanmar dipimpin rezim militer di bawah komando Jenderal Ne Win.

Benedict Rogers, dalam Burma: A Nation at the Crossroads menulis, pemerintahan Ne Win memiliki aturan tidak tertulis, yakni menghabisi komunitas Muslim, Kristen,Karen, dan etnis lain.

Karena itu, pemerintahannya saat itu sangat ketat mengatur kewarganegaraan, mulai dari aturan imigrasi dan puncaknya adalah keluarnya aturan kewarganegaraan pada 1982.

Mayu Frontier Administration akhirnya kembali disatukan dalam Negara Bagian Arakan. Ribuan warga Rohingya mencari suaka ke Bangladesh selama konflik pada 1978 dan 1991 Sejak saat itu pula, warga Rohingya secara sistematis kehilangan kewarganegaraan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement