Senin 21 Nov 2016 08:58 WIB

Orang Arab, Rohingya, dan Rakhine: Teror Atas Nama Demuslimisasi

Gadis cilik Rohingnya di sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.
Foto: AP
Gadis cilik Rohingnya di sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.

Orang Arab, Rohingya, dan Rakhine: Teror Atas Nama Penolakan Demuslimisasi

Oleh Teguh Setiawan, Mantan Jurnalis Republika.

===========

Dalam Hanifa O Kaiya puri, buku yang ditulis pada abad ke-16, Shah Barid Khan bercerita tentang kedatangan orang Arab di Arakan. Lebih tiga abad kemudian, British Burma Gazetteers yang ditulis RB Smart bertutur tentang orang-orang Moor yang terdampar di Pantai Arakan, bermukim, kawin dengan penduduk lokal, dan membentuk masyarakat baru.

Sebelum Hanifa O Kaiyapuri terbit, cerita tentang kedatangan orang orang Arab adalah cerita tutur masyarakat Muslim di Arakan. Barid Khan meneliti kebenaran cerita ini dan membandingkannya dengan berbagai sumber dari Persia dan Arab.

Barid Khan sampai pada kesimpulan kedatangan orang Arab pertama di Arakan terjadi pada 680 Masehi. Setelah Perang Karbala, Barid Khan, Mohammed Hanofiya, dan tentaranya tiba di Arab-Shah Para— sebuah kawasan dekat Maungdaw, kota di sebelah utara Arakan saat ini.

Hanif dan pasukannya bermukim di tempat itu, berbaur bersama penduduk setempat. Di dalam hutan, Ratu Kaiyapuri memimpin masyarakat kanibal. Secara berkala, pasukan Kaiyapuri menyerang desa desa di pinggir hutan, menculik penduduk, dan memakannya.

Hanif berinisiatif mengakhiri semua ini. Bersama pasukannya, Hanif masuk ke dalam hutan dan menyerang istana Ratu Kaiyapuri. Unggul pengalaman tempur dan persenjataan, Hanif berhasil menangkap Ratu Kaiyapuri bersama pengikutinya.

Ia membawa sang Ratu Kanibal keluar hutan. Ratu Kaiyapuri bersedia memeluk Islam dan Hanif menikahinya. Setelah itu, terjadi perpindahan agama secara massal. Pengikut Hanif dan Kaiyapuri berbaur, kawin dan menciptakan masyarakat baru.

Masyarakat campuran itu tinggal selama sekian abad di dua tempat yang dikenal dengan nama Hanifa Tonki dan Kaiyapuri Tonki. Jika pemerintahan militer tidak melakukan demuslimisasi di Arakan, dunia masih akan menemukan tempat ini di Arakan. Mohammed Ashraf Alam, dalam A Short Historical Background of Arakan, masyarakat campuran inilah yang menjadi inti Muslim Rohingya di Arakan saat ini.

RB Smart punya versi lain. Sekitar 788 M, Mahataing Sandya mendirikan sebuah kota baru di atas lokasi kota kuno Ramawadi dan menjadikan dirinya raja. Setelah berkuasa 22 tahun, Mahataing Sandya meninggal dunia.

Selama berkuasa, Mahataing Sandya mendapat beberapa laporan tentang kapal tenggelam terhantam badai di perairan Arakan dan awaknya terdampar di Pulau Rambree. Raja Mahataing Sandya memerintahkan pasukan untuk membawa semua kru dari Pulau Rambree dan memukimkannya di beberapa desa yang lokasinya tidak jauh dari Akyab—kota di Arakan saat ini.

Mengutip sejumlah sumber-sumber kuno, RB Smart memastikan kru kapal itu adalah orang-orang Arab Moor. Mereka bermukim sekian lama dan membentuk komunitas yang mapan. Jejak arkeologis mereka berupa tempat ziarah Babazi Sha Monayem dari Ambari, Pir Badar Sha, atau Badar Al-din Allamah, di dekat Teluk Bengal, masih berdiri sebelum terjadi demuslimisasi.

Dalam Rohingya Outcry and Demands, sejarawan Arakan menulis, setelah bermukim lebih satu generasi, orang-orang Arab nyaris menguasai seluruh Arakan dan melakukan pe net rasi ke beberapa bagian Burma. Tindakan ini membuka jalan bagi masuknya penyebar agama Islam mendedikasikan hidup mereka melayani penduduk asli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement