Sabtu 05 Nov 2016 16:51 WIB

Presiden Jokowi, Kekecewaan Massa, dan Kambing Hitam Revolusi Sosial

 Jokowi di Kota Tangerang
Foto: Republika/Muhammad Fakhruddin
Jokowi di Kota Tangerang

Presiden Jokowi,  Kekecewaan Massa, dan  Kambing Hitam Revolusi Sosial

Oleh: DR Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle

————————

Rakyat Indonesia bergerak. Saat dinihari, 5 November,  rakyat terus membanjir ke gedung dpr. Satu juta massa aksi tanggal 4 November, di depan istana, bubar dengan meninggalkan insiden kerusuhan. Jokowi melakukan konprensi pers, aksi massa menurutnya aman dalam jadwal normal, yakni  sampai jam 6 sore. Sedang aksi setelahnya, Jokowi menuduh ada aktor yang mendorong terjadinya kerusuhan. Termasuk adanya insiden kebakaran di jakarta utara.

Rakyat ini tidak peduli dengan teori konspirasi. Atau dituduh ada aktor penunggang. Mereka datang dari seluruh penjuru Jakarta, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan bagian lainnya dari daratan Indonesia tercinta. Ikhlas.

Mereka pindah dari Istana dengan ikhlas, berjalan kaki ke dpr. Dengan spirit perjuangan melawan penista agama Islam, Ahok, dan yang dikumandangkan dalam pidato2 di Monas tadi, yakni melawan pelindung Ahok, yakni Jokowi.

Mengkaji hal itu,  yakni dalam konteks demo rakyat raksasa tanggal 4 November, Jokowi paling tidak mempunyai dua kesalahan besar dalam sejarah bangsa ini. Mengapa?

(1) Jokowi melakukan  simbolisasi dirinya sebagai tokoh rakyat jelata selama kampanye persiapannya menjadi walikota, gubernur dan presiden. Selain menunjukkan kedekatannya dengan pedagang kaki lima di Solo, bahkan Jokowi dinobatkan Majalah Time sebagai tokoh penuh harapan.

Model pencitraan ini telah memberi harapan pada rakyat bahwa Jokowi  dekat dengan rakyat. Senang mendengar aspirasi dan keluhan rakyat. Jokowi adalah rakyat. Jokowi adalah kita.

Faktanya, pada tanggal 4 November ini,  Jokowi menghindar dari rakyat. Jokowi telah memandang persoalan ummat Islam, ummat mayoritas,  warga rakyatnya sendiri, secara sepele. Ketidakpuasan rakyat atas penanganan kasus Al Maidah yang lambat, yang dinyatakan dalam demo sejuta massa, adalah sebuah aspirasi. Hal itu seharusnya direspon dengan melakukan dialog langsung dengan rakyat.

Jokowi seharusnya menjelaskan langsung. Menerima pimpinan massa. Pertimbangannya dua hal, yakni sifat persoalan yang fundamental. Sensitif terhadap terpecah belah nya bangsa ini. Soal penggusuran pedagang kaki lima saja Jokowinya dialog, kenapa persoalan yang jauh lebih besar, Jokowi menghindar. Lalu, lainnya, skala massa merupakan aksi massa terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Bagi orang yang lahir dari gerakan massa, seorang pemimpin rakyat, faham betul bahwa pengorganisasian massa adalah pekerjaan besar. Besarnya jumlah massa ini menunjukkan besarnya sifat gerakan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement