Kamis 03 Nov 2016 05:01 WIB

Rachmawati, Garis Massa, dan Habib Rizieq: Ke Mana Nasib Bangsa?

Sukarno
Foto:
Ketua Umum Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) Rachmawati Soekarnopurti memberikan pidato dalam acara peringatan Haul (peringatan hari wafat) ke 46 Presiden RI Pertama Soekarno di Universitas Bung Karno, Jakarta, Senin (20/6).

Rachmawati, Garis Massa, dan Habib Rizieq: Ke Mana Nasib Bangsa?

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Pendiri Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle

======

Djoko Edhi Abdurrahman, wartawan senior,  mantan anggota Komisi III DPR RI dan  Wakil Sekjen Lembaga Bantuan Hukum Nahdatul Ulama terduduk lunglai, lemas, dan tak berdaya ketika seluruh argumennya soal dialektika kekuasaan dihancurkan Rachmawati Soekarnoputri, beberapa bulan lalu di ruangan Yayasan Bung Karno, 500 m dari Tugu Proklamasi.

Pasalnya, dalam pertemuan yang dihadiri 30-an aktifis muda Islam, yang di bawa Bursah Zarnubi, Djoko Edhi mengeluarkan teori bahwa pertarungan kekuasaan dan power itu adalah sebuah dialektika antara kaum tertindas dengan penindas atau yang dikuasai dan yang menguasai, atau kaum marhaen melawan kaum kapitalis. Dan ujung ceritanya adalah sebuah kompromi politik. Dan tidak terhindarkan.

Dengan sorot matanya yang tajam, Rachmawati Soekarnoputri, mengatakan bahwa ajaran Soekarno itu adalah pertarungan abadi antara kaum marhaen yang ditindas melawan kaum kapitalis, penindas, sepanjang jaman. Tidak kompromi. Tidak mungkin ada kompromi antara rakyat miskin yang historisnya "ditipu" orang orang kaya, bangsa pribumi yang diperdaya non pribumi dan asing, antara massa mayoritas miskin dengan segelintir kapitalis yang sewenang2 mencuri atas nama kebebasan, pasar bebas dan demokrasi. Tidak ada sebuah kompromi.

Djoko Edhi tidak berani membantah. Karena memang teori yang diketengahkannya tidak sesuai dengan teori yang dianut Rachmawati. Rachmawati, menurut Djoko Edhi, benar benar keras dan ideologis seperti bapaknya, Bung Karno.

Rachmawati adalah tokoh revolusioner. Dalam bukunya yang baru "Revolusi Belum Selesai", Rachma menunjukkan konsistensinya selama hidupnya dalam politik yang keras dan terjal. Konsistensi itu ditunjukkan dengan pikiran pikirannya, bahwa bangsa Indonesia saat ini terjerat dalam persekongkolan jahat dari elit elit politik demi memperkaya diri dan keluarga mereka saja. Yang kaya terus menambah kekayaannya sampai tujuh generasi, sedang kaum marhaen, rakyat miskin tetap terpinggirkan.

Oleh karenanya, Rachmawati tetap menggelorakan revolusi sosial sebagai jalan keluar. Revolusi sosial itu adalah perubahan struktur sosial, yang menggariskan keadilan ekonomi dan pemerataan sebagai acuan hidup berbangsa, bukan membiarkan ekonomi dan politik dikuasai bandit-bandit ber "make up". Termasuk kritiknya terhadap saudaran sendiri, Megawati, yang dianggapnya menjadi pelindung kapitalis.

Menurutnya, Megawati "Use Soekarno to Kill Soekarnoisme". Atau pada tulisan yang lama "Use Soekarnoisme to Kill Soekarno".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement