Makna Toleransi, Pilkada: Terima Kasih Umat Budha Tanjung Balai
Oleh: DR Iswandi Syahputra, Peneliti Media dan Pengajar UIN Sunan Kalijaga
-------------------------------------------------
Beberapa waktu lalu pascakerusuhan, peristiwa penurunan patung Buddha Amitbha di vihara Tri Ratna Tanjung Balai. Pada satu sisi hal ini bisa dipahami keliru oleh orang dari planet siber sebaga aksi intoleran atau dominasi umat Islam terhadap umat Buddha sebagai minoritas di sana. Ini terjadi karena banyak yang 'tidak memahami' dan 'tidak mau memahami' dengan baik konteks dan sejarah patung tersebut diturunkan.
Agar tidak sesat pukir, maka kita bisa mulai mencerna kasus tersebut dari peristiwa kerusuhan di Tanjung Balai, 30 Juli lalu.
Secara singkat, kerusuhan tersebut dipicu oleh keberatan seorang warga dari etnis Tionghoa terhadap suara azan. Massa yang marah kemudian mensasar sejumlah vihara untuk dirusak. Dalam hitungan jam, sembilan vihara dirusak massa, termasuk vihara tempat patung Buddha itu berada. Menurut pemerintah, cepatnya pergerakan massa tersebut dipicu oleh postingan di media sosial. Argumen pemerintah ini yang bikin menarik minat saya untuk langsung terjun ke lapangan guna meneliti kebenarannya.
Setelah menyusun desain riset, sepekan kemudian, 8 Agustus saya sudah berada di Tanjung Balai untuk mengumpulkan data riset. Dari sejumlah narasumber terpilih dan kompeten yang saya wawancarai diperoleh informasi bahwa:
1) Sepanjang sejarah kehidupan sosial-keagamaan di Tanjung Balai tidak ada catatan konflik berbasis agama.
2) Hingga patung Buddha tersebut dibangun dan berdiri kokoh di puncak vihara seperti terlihat dalam gambar.
3) Keberadaan patung (dalam pengertian sejarah hadirnya patung dan posisinya, bukan fisik patungnya) di atas Vihara tersebut yang menjadi sumber masalah karena.
Mengapa? Hal ini karena:
- Patung didirikan di atas vihara di tanah hasil reklamasi sungai yang dianggap masyarakat masih bermasalah.
- Vihara berada di sebelah bangunan 'Balai' sebagai simbol sejarah kota Tanjung Balai.
- Bagi umat Islam di Tanjung Balai, ini yang terpenting, secara imajiner posisi patung pararel dengan arah Kiblat, arah dimana umat Islam menghadap saat beribadah sholat.
Sehingga, ada semacam suasana kebatinan, jika umat Islam shalat seolah menghadap atau menyembah patung Buddha. Untuk memahami suasana kebatinan ini perlu membaca sejarah bagaimana relasi Islam dengan patung sebagai berhala pada masa Nabi Ibrahim As dan Muhammad Saw. Sehingga sejak awal umat Islam hanya meminta posisi patung tersebut dipindah, bukan dihancurkan. Atau diubah arahnya, tidak pararel mengarah ke Kiblat.