REPUBLIKA.CO.ID, Berbagai jasa peminjaman uang marak tersedia di tengah masyarakat. Jasa peminjaman uang tersebut biasanya dikelola oleh perorangan atau sebuah lembaga tertentu. Jasa ini pun tidak terikat dan tidak terafiliasi dengan bank-bank konvensional. Fenomena semacam ini kerap disebut dengan shadow banking. Namun, jasa peminjaman uang tersebut masing menggunakan sistem yang sama dengan bank konvesional, yaitu dengan adanya bunga.
Kendati begitu, tidak jarang besaran bunga yang ditetapkan oleh jasa peminjaman uang tersebut lebih besar dari bank-bank konvesional pada umumnya. Ada bahkan jasa peminjaman dan pembiayaan yang mematok bunga hingga mencapai 25 persen. Jika melihat bunga yang begitu besar, idak sedikit para nasabah-nasabah yang akhirnya tidak mampu mengembalikan pinjaman mereka. Para nasabah tersebut pun seolah berada dalam lingkaran yang tidak pernah putus.
Sebagian besar ulama berpendapat, bunga bank dalam bentuk apapun termasuk riba. Terkait riba ini, Rasulullah SAW bahkan menegaskan, Allah SWT mengutuk para pelaku dan semua pihak yang terkait dengan riba. Tidak hanya itu, Rasulullah SAW juga menyebutkan, bahaya riba sama seperti bahaya syirik. Selain itu, para pelaku riba yang ringat diibaratkan seperti anak laki-laki yang menikahi ibunya sendiri.
Independen Financial Planner, Mohammad Bagus Teguh berpendapat, kemunculan jasa-jasa peminjaman uang tersebut terjadi lantaran adanya permintaan yang besar dari masyarakat. Hal ini pun dipengaruhi oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Belum lagi ditambah dari mental masyarakat yang maunya serba instan. ''Dengan pangsa pasar seperti itu, maka jasa-jasa seperti rentenir, KTA, dan shadow banking seperti itu pasti banyak pasarnya. Jadi memang marketnya tersedia, ada demand juga,'' tuturnya kepada Republika beberapa waktu lalu.
Selain itu, fenomena masyarakat yang ingin memiliki uang banyak, kemudian ingin mendapatkan keuntungan secara cepat. Mereka pun lari ke jasa keuangan non bank itu. Meski, ujar Teguh, jasa tersebut memiliki resiko yang sangat tinggi bagi para penyedianya. ''Bagi penyedia jasa itu, pasti resikonya sangat tinggi. Dengan risiko yg sangat tinggi, maka dikompensasi dengan bunga yang cukup tinggi juga. Nah itu sudah pasti riba,'' tutur Teguh yang juga menjadi anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.
Kendati begitu, Teguh mengakui, orang-orang yang menggunakan jasa-jasa peminjaman dan pembiayaan tersebut tidak hanya menggunakan uangnya untuk konsumsi, tapi juga untuk biaya-biaya lain, seperti biaya pendidikan anaknya. Namun, hal ini justru menandakan, orang tersebut tidak memiliki pengelolaan keuangan yang cukup baik. Mereka dinilai tidak bisa menahan diri untuk berbelanja dan konsumsi di hal lain, selain dari dana pendidikan. Mereka pun akhirnya tidak memiliki dana untuk sekolah anak ataupun biaya rumah sakit.
''Nah, tersedialah fasilitas atau jasa peminjaman uang seperti itu. Dapat dana dengan cepat, walaupun bunganya tinggi, tapi hal itu dipikirinnya belakangan,'' ujarnya.
Teguh pun menyarankan agar masyarakat memiliki perencanaan keuangan. Dimulai menginventarisir kebutuhan selama satu bulan, hingga perencanaan keuangan pada masa mendatang. Misalnya, seperti kapan anak-anak mulai sekolah, atau adanya dana-dana darurat yang digunakan jika ada kerabat atau orang tua yang sakit.
Dengan memiliki perencaan keuangan, ujar Teguh, maka gaya hidup akan lebih mudah terkontrol. Budaya tanggal tua dan tanggal muda di setiap bulan bisa saja terkikis, jika masyarakat memiliki perencanaan keuangan yang baik selama satu bulan. Namun, Teguh menyebut, boleh saja jika orang menginginkan gaya hidup yang tinggi, asal dia memiliki perencanaan keuangan yang baik. ''Kan yang jadi sedinya begini, saat punya uang malah dibeliin HP baru, tapi begitu anak mau sekolah atau bayaran, eh malah pinjam ke sana ke mari,'' katanya.