Kambing Hitam, Belajar Menjadi Brutus, dan Kisah Ajaib Indonesia
Oleh Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa
Gayanya masih seperti dulu. Ceplas ceplos. Kembar ceplas ceplos, “apa adanya”. Ceplas ceplos dan apa adanya punya saudara tiri. “Tohok”, bukan Togog namanya. Bicara tohok pasti saling tohok. Begitulah ceplas ceplosnya, tohok siapapun yang merasa ini dan itu.
Itulah mereka yang merasa keren, cantik, dan guanteeeng. Juga yang merasa pandai, kaya, dan terkenal. Apalagi yang sibuk how to serve the boss. Maka entah atasan, orang bertitel, birokrat atau politisi, niscaya tercabik-cabik bicara dengannya.
Yang ceplas ceplos ini, Khoiril Aidin namanya. Nama akrabnya, Cak Din. Kartu namanya tertera melayani segala jenis “kambing partai”. Nah iniii. Ahaaa, ada yang tahu makna “kambing partai”?
Pikiran saya jadi ikut nakal. Buat kartu nama pun tetap menohok. Cak Din ingin bilang stok “kambing hitamnya” banyak. Tersedia dalam jumlah “partai besar”. Partai manapun butuh, siaaap. Soal menghitamkan kambing, Allah punya kehendak. Soal poles agar lebih kental “kambing hitamnya”, nah serahkan pada ahlinya. Siapa? Ah pura-pura tak tahu.
Kasihan yang lugu nan polos karena spektrum kambing itu luas. Dari ragam, negeri ini punya dan bisa tampung segala jenis kambing dari belahan dunia manapun. Kuliner Domba Cairo pun laris manis. Betulkah kambingnya dari Mesir? Entah. Dulu marak martabak Mesir. Dari Mesir? Pasti bukan. Tahu Sumedang juga tembus ke banyak kota nun jauh dimana-mana. Aseli Sumedang? Tidak.