REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah hasil studi menunjukkan, ada dua tren nyata di masyarakat AS saat ini. Kedua tren itu menyangkut persoalan perceraian yang meningkat dan tingkat religiusitas yang terus turun. Kedua hal itu ternyata saling memengaruhi.
Tingkat perceraian berada di level tertinggi pada 1980-an, sekitar setengah dari total pasangan menikah berakhir dengan perceraian. Sementara itu, masyarakat AS saat ini makin tak religius. Sejak 1972, jumlah warga AS yang mengaku tak memeluk agama tertentu meningkat dari lima persen menjadi 25 persen.
Apakah kedua tren ini berhubungan? Studi yang dilakukan Public Religion Research Institute menyatakan, kedua hal tersebut berhubungan. Anak-anak yang orangtuanya bercerai tumbuh dewasa tanpa agama.
Mereka yang saat anak-anak orangtuanya bercerai secara signifikan tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak religius. Sebesar 35 persen partisipan yang ketika anak-anak orangtuanya bercerai mengaku kini mereka tidak religius. Sementara partisipan yang kini tidak religius meski saat anak-anak orangtua mereka utuh.
Studi lainnya tentang peningkatan jumlah populasi yang mengaku tak beragama berfokus pada perubahan preferensi generasi milenial. Sebesar 29 persen orang dewasa yang dibesarkan dalam kelurga yang religius, tapi akhirnya memilih tak beragama, mengaku, mereka meninggalkan agama karena agama mereka mengajarkan hal negatif tentang para penyuka sesama jenis. Sedangkan 19 persen mengaku, mereka meninggalkan agama karena skandal tindak asusila, dan 16 persen mengatakan tak percaya dengan agama.
"Ada banyak alasan orang meninggalkan agama. Saya pikir ada bagian yang kurang kita perhatikan soal ini, bagaimana generasi milenial tumbuh. Mereka berbeda dengan generasi sebelumnya dan makin banyak yang dibesarkan dengan kondisi orangtua bercerai," tutur salah satu peneliti studi ini, Daniel Cox, seperti dikutip Washington Post beberapa waktu lalu.
Cox mengatakan, tim penelitiannya menemukan, anak-anak yang religius dari orangtua yang bercerai bahkan memiliki tingkat religiusitas lebih rendah dari anak-anak sebayanya, 31 persen dibanding 43 persen.
Seorang profesor di Luther Seminary, Andrew Root, yang menulis buku tentang konsekuensi spiritual perceraian bagi anak-anak, mengaku tak terkejut dengan temuan studi ini. "Segala hal hasil perceraian akan terbagi, semua. Mulai dari teman-teman orangtua, sanak keluarga, semua orang berdiri di salah satu pihak. Tempat ibadah ayah dan ibu akan terpisah. Bernegosiasi untuk hal ini akan sulit," kata Root.
Root mengatakan, lembaga agama masih kurang dalam membicarakan hal ini secara langsung tentang hal itu demi kepentingan anak-anak. Sehingga anak-anak hilang kepercayaan akan kemampuan lembaga agama menolong mereka.
Saat tingkat perceraian merangkak naik pada 1980-an, banyak pemuka agama berhenti menentang perceraian. Dengan diam, mereka tidak memberi rasa nyaman pada anak-anak.
Orang dewasa, lanjut Root, mereka yang tidak percaya agama akan merespons persoalan ini. "Mereka jadi berpikir, 'Pernikahan saya sedang dalam masalah. Pasti gereja tidak akan mengatakan apa-apa soal ini karena saat saya kecil dan menghadapi perceraian orangtua saya, mereka pun tidak berbuat apa-apa'," kata Root.
Studi yang dilakukan dengan menanyakan pertanyaan seputar isu religiusitas para responden ini juga membahas konsenkuensi pernikahan orangtua. Hasilnya menunjukkan, anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua berbeda agama juga cenderung tidak memilih memeluk satu agama tertentu saat dewasa.