Senin 10 Oct 2016 04:53 WIB

Ahok, Kemacetan Jakarta, dan Skenario Warga Sumbu Pendek

Kemacetan Jakarta
Foto: Republika/Wihdan
Kemacetan Jakarta

Kemacetan Jakarta buat kaki kram. Maklum mobil tua. Injak rem dan gas saja musti keluar tenaga. Jalan searah dua lajur, kini disesaki empat lajur mobil. Macet buat pikiran pepat. Kresak kreseeeek.... suara radio yang siarkan kemacetan, tambah menyesakkan napas .

Jakarta, oh Jakarta. Saya terpana ditengah hiruk pikuk klakson, plototan mata dan makian di kemacetan. DNA Jakarta, jangan-jangan dari sononya memang kisruh yaaak. Sejak diakuisisi jadi Batavia, sampai hari ini terus sarat soal.

Tuhan punya maksud. Pasti! Sekarang Jakarta pun punya gubernur, Ahok. Ada yang protes. Mengapa? Koq bukan Risma atau Ridwan Kamil. Malah ada yang lecehkan, jabatan Ahok itu “lungsuran”. Apa maksud Allah?

Saya jadi ingat ketika pimpin sebuah lembaga. Tak ada pengalaman manajemen, tak paham memimpin, eh jadi leader. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada yang mau, tak ada yang perhatikan, dan tak ada yang peduli. Jadi daripada daripada, ya mendingan mendingan. Salah pun dulang simpatik. Kenapa? Karena di awal-awal kiprah tak ada pembanding.

Ada yang bilang saya ini “kecelakaan sejarah”. Wah saya berontak dong. Enak aja ngomong. Saya bilang, itu “kehendak sejarah”. Bedanya saya dengan Ahok. Saya bukan siapa-siapa. Sedang Ahok yang somebody, layak dapat durian runtuh diajak Jokowi.

Maka ada yang bilang itu “skenario besar”. Benar tidaknya, entah. Apakah bakal jadi “skenario sejarah”, entah juga. Tapi negeri ini memang terlanjur dikerat. “Warisan politik devide et impera” tetap terasa. Secara wilayah memang NKRI. Tapi secara psikologis, saling sikat, gontok, dan jegal, terus hidup. “Politik belah bambu” kita makin kental.

Bagi saya, sejarah sedang “bergerak dan berderak”. Bergerak karena waktu tak pernah rehat. Berderak karena ulah kita sendiri. Sejarah selalu “multi tafsir”. Tergantung sudut pandang, jarak pandang, dan kejernihan pandang.

Jakarta memang “eudaaan”. Warganya mudah kalap. Saya “setali tiga uang”. Bukan tanpa alasan saya dianggap “kecelakaan sejarah”. Mereka bilang, saya amat keterlaluan. Sumbu saya pendek. Marah sudah “terlatih sejak doeloe”. Begitu tersinggung, hasilnya kalap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement