REPUBLIKA.CO.ID, Penentuan awal-awal bulan dalam kalender Islam, ditetapkan melalui visibilitas hilal. Akan tetapi, penetapan awal bulan dalam kalender Islam ini, kerap menimbulkan polemik karena ketidaksamaan pemahaman terhadap visibilitas hilal.
Anggota Asosiasi Observasi Hilal-Islam Indernasional (ICOP) Profesor Suwandojo Siddiq mengatakan, bahwa selama ini, ada tiga metode penyusunan kalender Islam yang diterapkan di negara-negara berpenduduk Muslim. Ketiga metode tersebut ialah hisab urfi, hisab hakiki, dan hisab mar'ie, serta hisab imkanur-ru'yah.
Hisab urfi merupakan metode perhitungan sederhana dalam menentukan awal bulan dalam kalender Islam. Pasalnya, metode ini, langsung menentukan pola 30-29-30-29 dalam pergantian bulan tanpa mempedulikan visibilitras hilal.
Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa sistem penanggalan ini tidak akurat. Ini dikarenakan hasil dari hisab urfi tidak memperhatikan posisi bulan atau visibilitas hilal.
“Jadi tidak sesuai dengan science dan syariah,” kata Suawandojo dalam program Istighasah dan Taklim Babussalam (Ittiba), Ahad (22/3).
Untuk hisab hakiki, juga bisa dikatakan tidak memperhatikan visibilitas hilal dalam penentuan awal bulan dalam kalender Islam. Metode ini, kata Suawandojo, menentukan jika pergantian bulan sudah terjadi sebelum matahari terbenam.
Dengan kata lain, metode ini berpedoman pada ufuk yang berjarak 90° dari Zenith (horizon teoritis). Metode ini, ujar Suwandojo, lebih mendekati fakta keberadaan bulan di atas horizon pengamat, tapi tidak menjamin visibilitas hilal.
Sementara hisab mar'ie memiliki kaidah yang berpaku pada 'wujudul hilal'. Dalam metode ini, awal bulan ditetapkan ketika konjugasi geosentris di mana bumi dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama (ijtima') terjadi sebelum Maghrib.
Hilal dianggap sudah terjadi bila saat terbenam matahari, bulan berada di atas ufuk hakiki (the true horizon) atau ufuk mar'ie (visible or apparent visible). Padahal, keberadaan bulan di atas ufuk saja tidak menjamin visibilitas hikal (penampakan hilal atau rukyatul hilal).
“Karena itu, harusnya dinamakan wujudul qqomar, bukan wujudul hilal karena belum jadi hilal," lanjutnya.
Perbedaan metode penentuan hilal ini-lah, kata dia, yang kerap menyebabkan timbulnya polemik dalam penentuan hilal sebagai penanda awal bulan. Suawandojo menilai, jalan keluarnya cukup sederhana, yaitu kembali pada ketentuan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Yang menjadi permasalahan ialah derajat tinggi atau altitude hilal yang sepatutnya digunakan dalam menentukan hilal.
Sejauh ini, menurut dia, pemerintah biasanya menentukan hilal dengan ketinggian atau altitude minimal 2°. Padahal, Suwandojo menyatakan, ketinggian tersebut belum memungkinkan hilal dapat terlihat dengan mata telanjang. Hilal pada derajat tersebut baru bisa terdeteksi dengan menggunakan teknologi. Padahal, di zaman Rasulullah SAW, hilal ditentukan dengan mata telanjang.
Untuk itu, Suawandojo menghitung, perkiraan ketinggian hilal yang terjadi di zaman Rasulullah sejak tahun pertama hingga tahun ke-10 Hijriah. Perhitungan ini mengambil titik observasi di Madinah yang merupakan kediaman Rasulullah dengan Longitude 39°:36':41", Latitude 24°:28':03". Lalu, berdasarkan beberapa metode perhitungan, awal tahun 1 Hijriah didapati jatuh pada 16 Juli 622 CE.
Dari situ, Suwandojo melakukan perhitungan awal Ramadhan dan Syawal pada 1 Hijriah hingga 10 Hijriah. Berdasarkan perhitungan tersebut, diketahui titik hilal terendah di Madinah yang dapat terlihat dengan mata telanjang, untuk bulan Ramadhan selama 1 H hingga 10 H diketahui 7,844° dengan DAZ (Delta Azimuth) -9,212°. Sedangkan titik hilal terendah di Madinah yang dapat terlihat dengan mata telanjang, untuk bulan Syawal selama 1 H hingga 10 H diketahui 7,771° dengan DAZ (Delta Azimuth) -5,11°.
Berdasarkan perhitungan-perhitungan tersebut, Suwandojo mendapatkan beberapa kriteria visibilitas hilal yang mendekati ketentuan hilal yang terjadi pada masa Rasullullah. Dia menyatakan, hilal baru dapat terlihat jika memenuhi setidaknya enam kriteria.
Keenam kriteria tersebut ialah ARCV (Arc of Vision atau Arc of Descent) tidak kurang dari 11° atau altitude tidak kurang dari 10,5°. Selain itu, hilal baru dapat terlihat mata telanjang jika ketebalan hilal W tidak kurang dari 0,25 ArcM dengan illumination tidak kurang dari 1,0 persen dan lag tidak kurang dari 35 menit. Kriteria lainnya ialah usia bulan tidak kurang dari 25 jam.
Berdasarkan perhitungan dan temuan tersebut, Suwandojo mengimbau, agar penentuan hilal memperhitungkan asas sains dan juga asas syariah agar lebih akurat. Asas sains yang dimaksud ialah hasil penelitian sistematis yang didukung dengan data-data nyata dan falid melalui metode penelitian yang benar.