REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peralihan penggunaan kalender hijriyah ke masehi yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi, saat ini, hangat diperbincangkan dan menjadi perhatian Kemenag RI. Bahkan, Menag Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, terkait peralihan kalender hasil konferensi Turki itu, perlu ditelaah bersama. "Dan Indonesia selaku negara teladan bagi negara lainnya, berposisi sebagai penyatuan kalender Islam di dunia," katanya.
Dipaparkan Menag Lukman, bahwa negara harus berperan aktif dalam penyatuan kalender Islam. Kehadiran negara sangat diperlukan dalam upaya penyatuan kalender Islam internasional. Apapun kriteria yang dipilih maupun sistem yang akan digunakan jika tidak melibatkan negara yang memiliki kekuatan untuk melakukan komunikasi antar negara maka hasil-hasil pertemuan yang dilakukan tidak akan bermakna dan akan mengalami nasib yang sama.
"Kementerian Agama memiliki kepedulian yang besar terhadap isu yang terjadi di masyakarat terkait dan mempunyai respon yang cepat untuk memberikan solusi dan ketenangan di masyarakat," ujar Menag.
Sebelumnya, Guru Besar IPB KH Didin Hafidhuddin mengatakan, pergantian tahun Hijriyah perlu dimaknai lebih dalam dari sekadar pergantian tahun. Selain perbaikan di berbagai sisi bagi ummat, kata dia, pergantian tahun juga harus jadi momen kembali memakmurkan masjid.
Dia mengatakan, momentum ini harus dimanfaatkan untuk perubahan dan peningkatan kualitas kehidupan ummat, baik di sisi pendidikan, ekonomi, kesatuan, dan persatuan. "Ummat harus memakmurkan masjid dan menjadikannya sebagai tempat penguatan ukhuwwah dan jamaah. Apalagi dalam menghadapi kegiatan politik dalam menentukan kepemimpinan," ungkap Kiyai Didin.
Mulai 1 Oktober 2016 lalu, Arab Saudi resmi mengganti penggunaan kalender hijriyah ke kalender masehi. Alasannya, Saudi ingin melakukan efisiensi anggaran negara dengan menekan anggaran untuk belanja pegawai. Dalam Islam sendiri, penggunaan kalender matahari dan bulan tetap diakui.