REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergantian kalender hijriyah ke masehi yang dilakukan Arab Saudi dinilai berdampak signifikan untuk menekan belanja APBN mereka. Sebab, mayoritas pekerja di Saudi adalah pegawai negeri.
Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Syariah (CIBEST) IPB Irfan S Beik menjelaskan, bila dilihat, antara kalender hijriyah dan kalender masehi, ada perbedaan waktu. Perbedaan ini terus terakumulasi dari waktu ke waktu dimana perputaran kalender hijriah lebih cepat dari kalender masehi.
Dari sisi APBN Saudi, Irfan melihat, ketika pegawai digaji dengan standar hijriyah dan dengan waktu lebih cepat, maka pengeluaran menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan kalender masehi. Dengan kalender masehi, Pemerintah Saudi bisa membayar pegawai dengan gaji yang sama, namun dengan waktu kerja yang lebih lama sehingga pengeluaran negara bisa ditekan.
Ini juga sekaligus menjadi sinyalemen bahwa posisi defisit fiskal Saudi semakin besar akibat tekanan krisis global saat ini.
Dengan beralih ke kalender masehi, dalam tiga tahun, Saudi akan menghemat APBN sebulan. "Kalau ini tidak signifikan, Pemerintah Saudi tidak akan mengganti kalender," ungkap Irfan melalui pesan aplikasi daring, Selasa (4/10).
Masalahnya, lanjut Irfan, mayorits warga Saudi bekerja di sektor pemerintahan di banding swasta. Hal ini memberi beban besar bagi pemerintah. Mungkin kalau situasi ekonomi sudah normal, bisa saja Saudi kembali ke kalender hijriyah.
Soal apakah ada indikasi tekanan pihak luar, Irfan menyatakan, dari data yang ia cek, perbandingan warga Saudi yang kerja di pemerintahan dengan swasta sebesar 2:1. Irfan melihat, tidak ada desakan atas pergantian kalender ini.