Oleh: Mahmud Yunus
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kitab Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban diceritakan sebuah kisah nyata yang sangat memikat diperankan seorang sahabat dengan julukan Abu Qibalah. Khususnya, di kalangan pengamat isnad hadis dia sudah sangat dikenal.
Namanya sering kali disebut dalam isnad hadis. Dia adalah salah seorang perawi hadis dari (jalur) Anas bin Malik. Salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Selain itu, dia juga seorang perawi hadis dari (jalur) Malik bin al-Khuwairits.
Abdullah bin Muhammad menuturkan, suatu hari dia keluar menuju tepi pantai untuk memantau kawasan tersebut dari kedatangan musuh. Tanpa terasa, dia telah berada di sebuah dataran yang cukup lapang di tepi pantai.
Di sana, terdapat sebuah kemah yang dihuni pria dengan kedua tangan dan kedua kaki yang buntung. Pendengaran dan penglihatan dia sudah tidak berfungsi dengan baik. Bahkan, seluruh anggota tubuhnya sudah tidak berfungsi, kecuali lidahnya.
Dengan lidahnya, dia berkata: “Ya Allah, bimbinglah aku agar bisa memuji-Mu, sehingga aku bisa mensyukuri segala nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku. Sungguh, Engkau telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk-Mu yang lain.”
Mendengar semua itu, Abdullah berkata dalam hatinya, “Demi Allah, aku akan mendatangi pria itu. Aku akan bertanya, mengapa dia mengatakan semua itu. Apakah dia memahami yang diucapkannya? Ataukah, itu sebentuk ilham yang diturunkan dari langit kepadanya?”
Abdullah bertanya, “Wahai saudaraku, nikmat mana yang telah Allah berikan, sehingga kamu merasa perlu memanjatkan puji kepada-Nya? Kelebihan apa yang telah Allah berikan kepadamu, sehingga kamu merasa perlu memanjatkan syukur kepada-Nya?”
Pria tersebut menjawab, “Tidakkah engkau lihat yang telah Rabbku lakukan terhadapku? Demi Allah, seandainya Dia memerintahkan petir untuk menghajar tubuhku sehingga terbakar atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindih tubuhku sehingga remuk atau memerintahkan laut untuk menyeretku sehingga tubuhku tenggelam atau memerintahkan bumi untuk menelanku sehingga tubuhku terbenam, niscaya hal itu akan membuatku lebih bersyukur lagi kepada-Nya. Lantaran, Dia telah memberikan kenikmatan luar biasa kepadaku berupa lidahku ini.”
Kemudian, pria itu meminta bantuan kepada Abdullah. “Engkau telah melihat keadaanku, bukan? Aku sungguh tidak bisa menolong diriku sendiri dalam kondisi seperti ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” katanya.
Menurut pria itu, dia memiliki seorang anak yang selalu melayaninya. Saat waktu shalat tiba, anak itulah yang membantunya bewudhu. Saat lapar, dialah yang menyuapiku. Saat haus, dialah yang memberi minum. Tapi, sudah tiga hari ini anak itu tidak menemuinya.
Ia memohon agar Abdullah bersedia mencari kabar tentang anaknya. Abdullah segera berlalu untuk mencari keberadaan anak (laki-laki) tersebut. Konon, tidak terlalu jauh dari kemah pria tersebut Abdullah melihat gundukan pasir.
Ternyata, di bawah gundukan pasir itulah terkubur sesosok mayat. Anak yang baik hati itu rupanya telah tewas diterkam binatang buas. Abdullah berpikir keras bagaimana menyampaikan berita duka itu agar pria tersebut tidak larut dalam nestapa.
Di tengah perjalanan menuju kemah, dalam pikiran Abdullah terlintas kisah Nabi Ayyub. Sesampainya di kemah, Abdullah mengucapkan salam. Pria itu pun menjawab salamnya.
Lalu, pria itu bertanya: “Bukankah engkau adalah pria yang tadi menemuiku? Bagaimana dengan permintaanku?” Abdullah menceritakan kabar buruk yang telah menimpa anaknya dengan menggambarkan kesabaran dan kesyukuran Nabi Ayyub.
Tujuannya, agar pria tersebut tetap bersabar dan bersyukur dengan segala peristiwa yang telah menimpa dirinya. Ternyata, pria tersebut sungguh luar biasa. Dengan tenang, dia menyambut berita duka dengan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Setelah itu, dia tampak menarik napas panjang, kemudian meninggal dunia. Abdullah tersentak menyaksikan peristiwa menyedihkan itu. Dia segera menutupi wajahnya dengan kain.
Belakangan, Abdullah diberi tahu kalau pria tersebut adalah Abu Qibalah. Pria yang pandai bersabar dan bersyukur kepada Allah yang patut diteladani. Nama lengkapnya Abdullah bin Zaid al-Jarmi. Dia berasal dari Bashrah.
Dia dikenal sebagai salah seorang ahli ibadah dan ahli zuhud. Dia wafat di Syam pada 104 Hijriyah. Yakni, pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik.