REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di kehidupan nyata, memang ada saja kasus luar biasa yang terjadi, termasuk dalam hidup berumah tangga. Seperti kasus orang tua tunggal, dalam hal ini seorang istri yang ditinggal mati suami, atau lantaran bercerai. Acap kali perempuan tersebut dituntut menghidupi sang anak seorang diri.
Lantas, bolehkah menitipkan buah hatinya ke penitipan anak, misalnya?
Mantan anggota Komisi Fatwa Kementerian Wakaf Suriah, Syekh Alauddin Za'tari, dalam Maqashid as-Syari'ah wa Dauruha fi al-Hifazh ala Huquq ath-Thifl, menjelaskan pada dasarnya wajib hukumnya bagi orang tua, dalam kasus ini, adalah sang ibu untuk mendidik secara langsung si buah hati.
Pendidikan itu merupakan hak mendasar bagi sang anak. Pendidikan tersebut memiliki dua tujuan yang utama, yakni memberikan kondisi yang layak agar si anak bisa belajar agama sebagai bekal di akhirat dan tujuan kedua mencetak generasi unggul berkarakter yang siap terjun di dunia nyata. Komponennya bisa sangat bervariasi.
Baik menyangkut kesiapan fisik, spiritualitas, maupun intelektualitas. Tuntunan mendidik anak ini sesuai dengan seruan Alquran yang meminta agar orang tua menjaga segenap keluarga dari berbagai hal yang menjerumuskan. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS at-Tahrim [66]: 6).
Menurut Imam al-Kasani, perempuan dinilai paling layak mendidik anak karena ia dikenal dengan kelembutan dan kesabarannya. Syekh Muhammad Khatib as-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj mengatakan, ibu dinilai paling pantas mendidik anak karena pada umumnya ia lebih lembut dan sabar menghadapi anak.
Dalam konteks apakah pendidikan itu termasuk hak anak atau sekaligus pula hak ibu, Prof Abd al Karim Zaidan menjelaskan kedua persoalan itu dalam bukunya berjudul al-Mufashal fi Ahkam al-Marati. Permasalahan pertama yang ia bahas ialah soal status pengasuhan itu. Ia mengutip pendapat para ulama mazhab.
Menurut Mazhab Hanafi, pengasuhan anak itu adalah hak bagi ibu dan dianggap hak pula untuk si anak. Pendapat ini disampaikan oleh al-Jashash. Ia mengatakan, seorang ibu itu berhak membesarkan anak selama ia masih kecil sekalipun tak perlu lagi asupan ASI.
Mazhab Syafii menyebut, pengasuhan anak adalah hak bagi ibu. Syekh as-Syarbini mengatakan hal itu dalam Mughni al-Muhtaj. Menurutnya, hak itu akan tetap berada di tangan ibu. Bila ia menghilang atau berhalangan seperti sakit berkepanjangan, hak itu berada di pihak nenek.
Dalam kondisi berhalangan seperti ini, ibu si anak tidak boleh dipaksa mengasuh selama yang bersangkutan tidak menanggung beban nafkah. Kecuali jika tidak terdapat sosok ayah dan ialah pencari nafkah, ia wajib dipaksa mengasuh.
Pandangan ulama Mazhab Maliki terpecah. Ada yang berpendapat pengasuhan itu adalah hak bagi ibu. Sebagian lain berpandangan pengasuhan tersebut adalah hak bagi anak. Seandainya sang ibu membatalkan haknya tersebut tanpa sebab, kemudian ia ingin mengambilnya kembali, ia tidak berhak. Ini karena hak asus tersebut adalah milik ayah, menurut pendapat yang populer. Merujuk opsi yang lain, ia bisa mengambilnya kembali.
Menurut Mazhab Hanbali, jika seorang ibu menolak mengasuh, ia tidak dipaksa. Karena, mengasuh anak bukanlah kewajiban atasnya. Ini berarti bahwa pengasuhan anak bukan kewajiban bagi ibu, melainkan adalah hak. Hak tidak boleh ada pemaksaan.
Maka, Syekh Alauddin kembali menguraikan, dalam kondisi seperti di atas, seorang ibu diperbolehkan menitipkan anaknya ke penitipan anak seperti play group untuk waktu tertentu dan bukan selamanya, selama hal itu tidak malah berdampak negatif pada anak. Selain itu pula, lembaga tempat anak dititipkan harus amanat dan berkualitas, terutama menekankan pada pendidikan keagamaan. Namun, bila yang bersangkutan mendapati risiko bagi anak yang dititipkan lebih besar, agar ibu tersebut memegang langsung pendidikan anaknya. Terkait penghidupan, disarankan mencari profesi yang tidak terlalu padat. “Syukur bila pekerjaannya bisa dikerjakan di rumah,” tuturnya.