REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umar bin Abdul Aziz adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam. Ia merupakan seorang khalifah pada masa Bani Umayyah. Kendati bukan keturunan khalifah sebelumnya, yakni Sulaiman bin Abdul Malik, tapi dia ditunjuk oleh Sulaiman untuk meneruskan takhtanya.
Kendati hanya memerintah sekitar tiga tahun, yakni pada tahun 717 M hingga 720 M, Umar dikenang sebagai pemimpin yang populis, bijak, tegas, serta disiplin. Ia pun tak segan untuk mendepak para pejabat kala itu yang terbukti berlaku korup.
Namun, di antara sekian banyak kebijakan dan kebajikannya, revolusinya dalam ranah ekonomi adalah salah satu yang paling penting dan layak diteladani. Ketika memerintah, Umar sangat memerhatikan pengembangan sistem zakat. Hal ini dilakukan semata-mata agar rakyatnya yang tidak mampu secara finansial, kebutuhannya tetap dapat tercukupi.
Umar memberlakukan sejumlah kebijakan untuk mewujudkan visinya tersebut. Pertama, berkaitan dengan zakat, Umar mengaturnya sedemikian rupa agar seluruh rakyat dapat menikmatinya. Akhirnya, ia pun membagi beberapa kategori penyaluran zakat, antara lain zakat untuk orang sakit, kaum difabel, dan dhuafa. Ia juga memerintahkan agar zakat diberikan pula kepada mereka yang sedang dihukum dan terlilit utang.
Untuk menyiasati terhimpunnya kebutuhan anggaran zakat tersebut, Umar menghemat seluruh pendapatan atau kas negara. Hal ini dilakukan dengan cara tidak menerapkan gaji 'selangit' bagi seluruh pejabat yang dipimpinnya.
Kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan kebijakan khalifah-khalifah sebelumnya. Sebab, sebelum Umar menjadi khalifah, para pejabat negara atau istana, diperkenankan untuk mengambil harta atau kekayaan negara langsung ke baitulmal untuk kepentingan pribadi beserta keluarganya.
Tak pelak, kebijakan tersebut membuat gerah kaum feodal, yang notabene didominasi oleh kalangan Bani Umayyah dan kerabat-kerabatnya. Apalagi, Umar juga sangat jeli dan ketat dalam mengawasi para pejabatnya agar tidak melakukan korupsi.