Rabu 28 Sep 2016 00:17 WIB

Memadukan Ilmu Klasik dan Modern Ala Ponpes Raudiatut Tarbiyyah

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Agus Yulianto
Para santri Ponpes Raudiatut Tarbiyyah Plered Purwakarta dididik kemandirian dalam hal ketahanan pangan.
Foto: dok. Istimewa
Para santri Ponpes Raudiatut Tarbiyyah Plered Purwakarta dididik kemandirian dalam hal ketahanan pangan.

REPUBLIKA.CO.ID, Akhir-akhir ini, lembaga pendidikan banyak berdiri bak jamur di musim hujan. Namun, ada satu lembaga pendidikan keagamaan yang berbeda dari biasanya. Padahal, lembaga tersebut, berada di peloksok pedesaan tepatnya di Desa Liung Gunung, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Lembaga pendidikan ini bernama Pondok Pesantren Raudiatut Tarbiyyah.

Menurut Pimpinan Pondok Pesantren Raudiatut Tarbiyyah Plered, H Ahmad Anwar Nasihin, lembaga pendidikannya berbeda dengan yang lain. Meskipun berada di pedesaan, namun pondok pesantren ini mengajarkan ilmu klasik dan moderen atau kekinian. “Ilmu yang kami berikan ke para santri, merupakan padu padan antara ilmu klasik dan modern,” ujarnya, kepada Republika Online.

Pondok pesantren ini, mengusung konsep salafiyah. Yakni, membaca dan menafsirkan kitab-kitab yang dianjurkan oleh para ulama. Akan tetapi, kajian mengenai kitab-kitab klasik itu dikolaborasikan dengan ilmu-ilmu kekinian. Sehingga, ilmu yang diserap para santri itu lebih sempurna.

Tak hanya itu, kata Ahmad, para santri juga dituntut untuk bisa mengimplementasikan ilmu umum (kekinian). Salah satunya, ilmu tentang pertanian dan budidaya peternakan. Karena itu, para santri yang jumlahnya 130 orang ini, setiap harinya digembleng ilmu agama berbasis salafiyah. Selain itu, mereka juga harus bisa berbudidaya atau bercocok tanam.

Dikatakan Ahmad, hasil dari pekerjaan yang mereka lakukan itu, dipergunakan untuk kepentingan sendiri. “Jadi, para santri juga dididik kemandirian dalam hal ketahanan pangan,” ujarnya.

Ternyata, kolaborasi ini disambut positif oleh para santri. Saat ini, para santri lebih giat lagi dalam mendalami ajaran agama. Mereka juga akhirnya lebih fokus pada pertanian dan budidaya perikanan. Sebab, hasilnya akan dinikmati oleh mereka juga.

Menurut Ahmad, berdasarkan sejarahnya, pondok pesantren ini cikal bakalnya merupakan majelis taklim. Majelis taklim ini didirikan oleh KH Didin Izudin pada 1950 lalu. Pendirian  majelis taklim, karena saat itu, di wilayah Liung Gunung masih jarang adanya lembaga pendidikan.

Seiring dengan perkembangan zaman, majeli taklim kemudian menerima anak-anak untuk belajar mengaji. Dari situlah, akhirnya berkembang pesat menjadi pondok pesantren. Sampai saat ini, santri yang belajarnya ada dua jenis yakni santri mukim dan santri nonmukim alias penduduk lokal.

“Alhamdulillah, saat ini, pondok memiliki lahan seluas 2,5 hektare. Dari luas itu, sekitar 1,5 hektare untuk pertanian, 1.300 meter persegi untuk perikanan, sisanya untuk bangunan,” ujarnya.

Ahmad Yunus (22 tahun), salah satu santri, mengatakan, dirinya sejak SD sudah menjadi santri di pondok pesantren ini. Ada hal yang menarik perhatiannya, sehingga mau belajar di lembaga ini. Yakni, ketertarikannya akan mengembangkan ilmu-ilmu budidaya perikanan. “Ikan yang kami budidayakan macam-macam, ada lele dan emas,” ujarnya.

Namun, kata dia, di pondok ini pun ilmu agamanya tak kalah seru untuk dipelajari. Setiap hari, santri selalu bersentuhan dengan kitab-kitab seperti kitab kuning. Dari pelajaran itu, lalu diimplementasikan pada kehidupan nyata. Seperti, menjaga kebersihan diri prabadi dan lingkungan sampai tata cara bergaul. “Semuanya, merujuk pada kaidah agama yang telah dipelajari dalam Alquran dan kitab-kita salafiyah,” katanya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement