Rabu 21 Sep 2016 12:34 WIB

Kepemimpinan dan Pengabdian Kepada Allah

Presiden ke-3 RI BJ Habibie menyampaikan pidato kepemimpinan
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Presiden ke-3 RI BJ Habibie menyampaikan pidato kepemimpinan

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Dudung Abdul Rohman *)

Tugas utama manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah. Karena itu segala aktivitas kita di dunia harus didedikasikan dan diorientasikan untuk ibadah dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]:56).

Apapun status dan kedudukan manusia, apakah pejabat, konglomerat, maupun rakyat memiliki tugas mulia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah. Jangan mentang-mentang jadi pejabat, memiliki kekuasaan dan bergelimang dengan kekayaan, berbuat dan berulah sesuka nafsunya dengan meninggalkan kewajiban pokoknya untuk beribadah. Sehingga akan mendatangkan murka dari Allah dan dijauhkan dari kebarakahan dan keridhaan. Maka orang yang tidak mau beribadah dikategorikan sombong dan angkuh, karena tidak menyadari akan eksistensi dan tugasnya di dunia. Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu’. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS. Al-Mu’min [40]:60).

Ibadah secara bahasa artinya tunduk dan patuh. Sedangkan secara istilah, banyak definisi yang dikemukakan para ulama mengenai pengertian ibadah. Misalnya  ada yang mendefinisikan, bahwa “Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta beramal sesuai dengan kewenangan syara’ (agama)”. Dalam kitab lain dikemukakan, bahwa “Ibadah adalah nama yang mencakup segala bentuk yang dicintai serta diridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatan, yang nyata atau yang tersembunyi” (A. Zakaria, 2006:4). Mengingat luasnya cakupan ibadah, maka para ulama membaginya menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdhah (khusus) yang kaitannya langsung dengan Allah (habl min Allah) dan ibadah ghair mahdhah (umum) yang kaitannya antar sesame manusia dan lingkungan (habl mi al-naas).

Dalam melaksanakan ibadah harus didasarkan dan diniatkan ikhlas semata-mata mengharap keridhaan dan pahala dari Allah SWT Sehingga ibadah yang kita lakukan benar-benar dapat difokuskan pada pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah SWT Dalam Al-Qur’an diungkapkan: Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah [98]:5).

Kemudian tujuan utama dari pelaksanaan ibadah itu adalah membentuk jiwa-jiwa yang bertakwa kepada Allah SWT. Misalnya tujuan dari ibadah shaum supaya menjadi orang yang bertakwa, begitu pula ibadah-ibadah yang lainnya. Karena takwa itu merupakan derajat yang paling tinggi sehingga manusia dapat mencapai puncak kemuliaan hidup di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]:21).

Karena tugas ibadah itu melekat pada perjalanan hidup manusia, maka tugas ibadah itu berlaku sepanjang hayat. Selama kita masih dapat menghirup udara segar di dunia, maka sepanjang itu pula kita tetap memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada Allah. Pada konteks perjalanan hidup ini, maka menjadi pemimpin pun merupakan lahan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan jalan pengabdian kepada masyarakat. Sehingga para pemimpin benar-benar dapat mencurahkan perhatian dan kemampuannya, dan berusaha untuk menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji karena khawatir mengotori niat suci untuk beribadah kepada Allah SWT melalui kepemimpinan dan kebijakan yang dikeluarkan. Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS. Al-Hijr [15]:99). Wallahu A’lam Bish-Shawaab.

 

*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement