Jumat 16 Sep 2016 00:06 WIB

Mengatasi Kekerasan dalam Islam

Anak menjadi korban kekerasan. (Ilustrasi)
Foto: speakofchange.org
Anak menjadi korban kekerasan. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudung Abdul Rohman *)

Ketika Allah SWT hendak menciptakan manusia yang akan dijadikan khalifah (pemimpin) di muka bumi, tiba-tiba mendapat protes keras dari para malaikat. Menurut malaikat, manusia tidak pantas menjadi khalifah, karena manusia memiliki sifat buruk. Apa sifat buruknya? Kata malaikat, sifat buruk yang dimiliki oleh manusia itu adalah kebiasaan merusak dan mengalirkan darah (membunuh). Inilah sifat negatif yang dimiliki oleh manusia menurut persepsi malaikat, sehingga mereka tidak setuju manusia menjadi khalifah di muka bumi. Tetapi Allah SWT tetap pada ketetapan awal, bahwa manusia hendak dijadikan khalifah di muka bumi.

Allah SWT berfirman: Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS. Al-Baqarah [2]:30).

Kemudian Allah SWT membuktikan ketetapan-Nya. Memang kalau manusia dibiarkan hanya memiliki insting (naluri) saja, bisa saja sifatnya kejam seperti binatang. Namun Allah SWT membekalinya juga dengan akal dan pikiran. Sehingga manusia dapat menerima pengajaran, pendidikan, dan pengetahuan yang mendewasakan dirinya.

Maka, dengan bekal pengetahuan, manusia menjadi mahkluk yang mulia. Sehingga, para malaikat pun disuruh sujud kepada manusia pertama yakni Nabi Adam as. Setelah manusia diberi pengetahuan oleh Allah SWT, baru para malaikat sadar bahwa ternyata Allah SWT menetapkan manusia sebagai khalifah di muka bumi itu karena manusia diberi bekal pengetahuan dan kemampuan.

Allah SWT berfirman: Artinya: “Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini (pengetahuan).’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. Al-Baqarah [2]:33-34).

Tetapi, pengetahuan yang diberikan kepada manusia, tidak serta merta menghilangkan nafsu kejam kebinatangannya. Dalam kondisi-kondisi tertentu, nafsu kejam ini bisa muncul ke permukaan. Ternyata memang kekejaman manusia itu terjadi tidak lama setelah Nabi Adam as dan Hawa tinggal di bumi.

Pada waktu itu, ada perselisihan antara dua orang anak Adam, yakni Qabil dan Habil. Karena Qabil ini temperamennya tinggi dan tidak bisa mengendalikan emosinya, maka ia memutuskan untuk membunuh adiknya Habil. Terjadilah tumpahan darah membasahi bumi yang pertama kalinya semenjak manusia hidup di muka bumi. Memang sinyalemen malaikat tidak semuanya salah, karena ternyata apa yang dikhawatirkannya terjadi, yakni manusia itu suka mengalirkan darah di muka bumi.

Selanjutnya, yang namanya pertumpahan darah senantiasa menghiasi perjalanan kehidupan manusia sepanjang sejarahnya. Apakah itu akibat perebutan kekuasaan, pertengkaran, hingga peperangan yang melibatkan banyak orang. Ini dikarenakan dalam diri manusia ada nafsu kebinatangan dan kekejaman yang ingin melenyapkan orang yang dianggap lawan.

Apabila nafsu angkara murka ini dibebaskan, maka berbagai kerusakan dan kesengsaraan akan melanda umat manusia. Maka demi kedamaian, keharmonisan, dan ketertiban, yang namanya perbuatan kekerasan harus dihentikan. Caranya gunakan akal, pikiran, dan hati seoptimal mungkin untuk bisa menatap kehidupan secara jernih, adil, dan bijaksana.

Allah SWT berfirman: Artinya: “Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi. Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS. Al-Hajj [22]:45-46). Wallahu A’lam Bish-Shawab.

 

*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement