REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski kesadaran akan gaya hidup halal itu terus tumbuh, sejauh ini informasi seputar halal bagi masyarakat masih kurang tersedia. Sehingga masyarakat masih mengandalkan para pegiat halal sebagai tempat bertanya.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang bisa jadi landasan proteksi konsumen juga masih belum secara masif sampai ke masyarakat karena masih difokuskan pada tataran pelaku usaha. Kasus sertifikasi sebuah merek busana Muslimah beberapa waktu lalu bisa jadi cerminan bahwa masyarakat perlu tahu bahwa dalam UU JPH, sertifikasi halal juga meliputi kategori barang gunaan. Maka masyarakat juga perlu
''Masyarakat itu inginnya sederhana, produk jelas halal. Tidak banyak masyarakat yang memerhatikan detil, meski ada juga mereka yang merasa perlu paham titik kritis produk halal dan pentingnya sertifikasi,'' kata Pendiri Halal Corner, Aisha Maharani, Rabu (7/9).
Masyarakat konsumen berbeda dengan masyarakat produsen harus tahu detil soal kehalalan produk. Karena masyarakat perlu jaminan halal yang sebenar-benarnya dan tidak dibuat bingung.
Misalnya waralaba, maka harus ada kewajiban untuk menempelkan sertifikat halal produk di gerai-gerainya. Pasar swalayan pun harus diletakkan barang halal dan non halal di tempat berbeda dengan jelas.
Menurut Aisha, upaya sertifikasi dari pelaku usaha juga belum terlalu progresif untuk mengejar peningkatan kesadaran gaya hidup halal masyarakat. Bukan berarti para pelaku usaha tidak sadar, tapi ada kendala. Misalnya UKM yang khawatir sertifikasi mahal dan lama. Pola pikir ini yang harus dihilangkan dan sangat tergantung pada produsen.
''Rata-rata biaya sertifikasi itu Rp 3 juta untuk 24 bulan atau hanya sekitar Rp 125 ribu per bulan. Padahal gadget yang dibeli para pengusaha bisa lebih dari itu harganya,'' kata Aisha.
Saat ini, label halal sangat menjual dan jadi bagian penjualan. Banyak pemerintah daerah yang membantu membiayai sertifikasi halal bagi UKM atau memberi edukasi cuma-cuma, meski tidak semua pemda juga mendukung. Maka, lanjut Aisha, tinggal apakah UKM juga gesit untuk mencari info. Maka, edukasi konsumen dan produsen perlu digencarkan karena belum seragam.
Persoalan lain yang pernah didapati Aisha pada UKM adalah kesungguhan dan ketepatan waktu. Ia pernah membuat kelas halal online coahing dengan peserta 38 UKM. Dari peserta yang ada, hanya 11 yang serius dan tepat waktu mengikuti tahapan panduan halal yang diberikan gratis itu. Pada skala kecil semacam itu saja, ada pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan.